Jumat, Januari 23, 2009

Madiun Up Date.

Saya memiliki hubungan emosional yang dalam dengan kota Madiun. Bukan karena saya dilahirkan dan besar ataupun pernah tinggal lama di kota ini, melainkan karena kedua orang tua saya tinggal di kota ini.

Dalam sejarah kehidupan saya sampai saat ini, seingat saya, saya pernah tinggal hanya selama satu bulan di Madiun. Pada tahun 1994-an setelah saya lulus kuliah dan belajar setir mobil, karena sekolah nyetir mobil di Madiun biayanya relatif murah. Waktu itu saya punya rencana untuk bisa setir mobil sebagai bekal, jaga-jaga kalo saya nanti dapat pekerjaan di kota besar seperti Jakarta. Lha repotnya, setelah empat belasan tahun lebih kerja, saya tidak berani nyetir mobil di Jakarta. Lagi pula saya belum punya mobil.

Selebihnya dari selama sebulanan tersebut di atas, saya tinggal di Madiun dalam hitungan minggu bahkan hari, kalo nggak libur, cuti atau berlebaran sungkem sama orang tua.

Dan beberapa bulan yang lalu saya sempet mampir ke Madiun.

Madiun sekarang sudah mulai berubah menjadi kota Meropolis. Buktinya sudah ada hypermarket Giant dan Carrefour di sana.

Sebetulnya sayang, soalnya kalo berbelanja di pasar tradisional Madiun seperti Pasar Kawak atau Pasar Gede (yang kemarin barusan kebakar / masih dalam penyelidikan Polisi apakah di- atau ke-bakar) itu nyaman sekali. Pasarnya bersih, sosiologinya apik, yang jualan santun, tawar-menawarnya enak dan yang penting bisa nempur sama yang jualan. Apakah nempur beras atau nempur minyak.

Menikmati sarapan pagi berupa lontong pecel pincuk di Pasar Kawak merupakan kenikmatan tersendiri, sambil ngobrol pake bahasa Jawa dengan penikmat sebelah, ditengah-tengah orang yang lagi bertransaksi barang dagangan di dalam pasar, biasanya sembako dan pernik bumbu-bumbu-an dapur.

Bioskop yang –dulu- bergengsi bernama Madiun Theater (MT) sudah bubar, diganti semacam rumah makan berbentuk food court. Tapi bioskop yang ada di dekat alun-alun yang biasanya suka muter film-film panas (ini bukan panas kebakaran tapi panas jenis HOT untuk ukuran 17 tahun ke atas, bukan ke samping) alias adegan ranjang (ini juga bukan adegan ranjang sekedar melipat sprei atau menata sarung bantal dan guling di atas ranjang tapi dua orang berlainan jenis yang berguling-guling di atasnya sambil mengumbar hasrat).

Di seberang MT ada diskotik namanya Fire. Saya hanya membayangkan bagaimana model Clubbing di dalamnya karena kota Madiun itu atmosfer-nya pedesaan.

Tapi meskipun beratmosfer desa, Madiun mampu menunjukkan bukti sebagai kota yang berskala makmur. Ya makmur dalam pengertian dari hal yang paling sederhana yaitu kebersihan kota-nya, termasuk bahasan suasana pasar tersebut di atas.

Belum pengelolaan sampahnya. Apik. Madiun sempat beberapa kali mendapatkan piala Adipura, padahal –menurut cerita juga pengamatan saya- sebelum pertengahan hingga akhir 80-an, Madiun termasuk satu diantara beberapa kota yang terkotor di Jawa Timur.

Kalo kita jalan-jalan keliling Madiun, paling sip naik sepeda pancal atau mbecak atau bisa naik sepeda motor kalo nggak tahan panas terik siang hari, maka akan terlihat kondisi jalannya bersih, rata / jarang yang nggronjal-nggronjal yang menyebabkan sepeda atau becak jalannya mbendhal-mbendhal, lalu lintas teratur dan di beberapa daerah (poros jalan Diponegoro sampai jalan Pahlawan) akan mudah tercium bau aroma bakaran daging sate kambing/ayam.

Juga menurut saya tingkat pengangguran di kota ini juga rendah. Buktinya jarang sekali ditemui adanya pengemis/pengamen di pusat-pusat pembelanjaan. Atau mungkin justru mereka pindah untuk menjadi pengemis/pengamen di kota lainnya, itu yang belum saya dapatkan gambarannya.

Menurut saya, tingkat kemakmuran kota Madiun ‘hanya’ mengandalkan produk pertanian (sentra padi poros Ngawi-Caruban), sentra jalur transportasi kereta api (dilewati oleh macam-macam kereta api jurusan arah ke wilayah barat lewat jalur selatan) dan industri gerbong kereta api. Juga industri gula putih (ada beberapa pabrik gula putih yang beroperasi sedjak jaman Indonesia masih bernama Hindia Belanda) serta wilayah strategis militer AU.

Wah, lha kalo gitu tidak hanya 'hanya' donk. Poinnya adalah pemerintah daerah Madiun mampu mengelola pemasukan daerahnya untuk dijadikan pemastian kemakmuran masyarakatnya.

Madiun dari dulu masih berkesan menjadi kota yang sepi, kecuali pas lebaran tiba.

Byuh, orang-orang yang menjadi pengembara di beberapa kota besar di Indonesia (juga mungkin di luar negeri) tumpek blek kalo pas lebaran. Bisa ngantri panjang kalo mau andhok nasi pecel di daerah Sleko, pas malam hari.

Ciri khas suasana panas teriknya juga masih ada sampai sekarang. Istilahnya panas ngenthang-ngenthang kalo siang hari tanpa hujan. Tapi justru cuaca tetap seperti inilah yang menyebabkan wanita Madiun itu kebanyakan berparas manis sampai ayu. Jarang ada cewek Madiun yang berjerawat, menurut saya.

Hal ini karena –mungkin- mulai kecil mereka sering menyeka keringat karena panas ngenthang… jadinya kulit pipinya dan beberapa wilayah sekitar wajahnya menjadi halus. Kalo warna kulit apakah sawo matang, coklat, kuning langsat hingga putih, itu sudah turunan genetika.

Juga abab-nya menurut saya beraroma khas, karena –mungkin- pengaruh kualitas air sumur di Madiun yang banyak mengandung Kalsium.

(Note: untuk topik yang mengulas abab, akan saya bahas tersendiri.)

Madiun memang kota di mana menjadi perbatasan kultur antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kalo didengar dari dialek dan cara penuturan, bahasanya relatif halus dibandingkan dengan dialek Jawa Timur-an poros Surabaya-Malang. Tata bahasa dan dialek Madiun itu sudah kebarat-barat-an (baca= kulonan, hampir sama dengan Surakarta walau tidak sehalus Surakarta).

Kuliner-nya juga demikian. Apa yang ada di Jawa Tengah tapi tidak seberapa disukai orang Jawa Timur ada di Madiun, seperti: Tong Seng, Sop Kambing, Timlo, Tengkleng (ini sangat dimungkinkan ada pengaruh kuliner Solo)

Sebaliknya, beberapa kuliner yang ada di Jawa Timur tapi nggak seberapa disukai sama orang Jawa Tengah, juga ada di Madiun, kayata; Rujak Cingur, Tahu Campur, Tahu Tek-Tek (pengaruh Surabaya untuk makanan berbasis petis) dan Rawon daging yang kuahnya berwarna hitam kecoklatan karena menggunakan kluwek.

Tingkat inflasi di Madiun juga cukup rendah. Lha buktinya harga sepotong Intip Kertan (Jadah bakar) yang pada tahun 90-an masih 50 rupiah, sekarang cukup menjadi 150 rupiah.

Demikian laporan sekilas tentang Madiun (bacaan dalam bahasa Jawa-nya= Mediyun. Konon dari asal kata 'ono Medi lagi Ayun-ayun'...)

Gara-gara hubungan emosional tadi, saya punya cita-cita juga nanti kalo punya rejeki pas pensiun mau menghabiskan masa pensiun di kota Madiun ini. Selain tingkat ekonomi kehidupan kotanya yang memungkinkan bagi pensiunan, juga saya ini cocoknya hidup di daerah panas. Kalo saya hidup di daerah dingin, kulit kaki saya pecah-pecah.

Salam,
Anton Joedijanto.
23 Januari 2009.