Senin, Desember 26, 2011

Lebih Berjalan Selama Perjalanan.

Bab. I, 15 Derajat.

Minggu kemarin, selama tiga hari-an baru kali ini saya tidak merasa mengeluarkan keringat. Padahal selama waktu itu saya tetap beraktifitas rutin seperti hari-hari sebelumnya. Tidak hanya itu, selama empat harian itu saya kebanyakan berjalan kaki dan juga tetap mengenakan pakaian yang utuh, bercelana panjang ditambah jaket yang walaupun tidak begitu tebal tapi dijamin akan menyebabkan yang mengenakannya akan berkeringat, jika yang mengenakannya sambil berjalan-jalan di daerah seperti di Jakarta.

Jadi, minggu kemarin saya mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan yang namanya negeri Hong Kong. Tempatnya lumayan jauh, karena membutuhkan waktu lebih kurang 4 jam-an jika menggunakan jasa penerbangan ditambah selisih waktu 1 jam lebih awal, sehingga serasa menjadi 5 jam-an perjalanan.

Setiba di bandara tujuan, setelah memenuhi persyaratan pagi pengunjung asing di bagian imigrasi dan mengantri barang-barang bawaan di bagasi pesawat, bayangan saya bahwa Hong Kong memiliki iklim yang mirip seperti di Indonesia ternyata keliru. Begitu keluar gedung bandara untuk mengantri taksi, hawa sejuk langsung menerpa kurang lebih seukuran 15-an derajat selsius.

Saya dan rekan-rekan seperjalanan (yang berarti kami bertiga), langsung mendapatkan taksi tanpa mengantri berlama-lama dan tanpa perlu melakukan tawar menawar. Sopir taksi paham dengan tujuan kami untuk menginap di @harbourviewhk di daerah distrik Wan Chai yang berarti harus menyebrang dari daerah bandara ke pulau Hong Kong. Jadi istilahnya distrik Wan Chai tujuan kami ini ya persis di Hong Kong Kong. Karena pas berada di pulau Hong Kong, bukan di daratan Chinanya seperti Kowloon, misalnya.

Warna dominan mobil taksi bagian luarnya merah, ruangan dalamnya lega untuk menampung 4 orang yang bertubuh tidak kecil seperti kami, termasuk sopir. Jalannya laju karena tidak ada hambatan berupa kemacetan atau sekedar menghindari jalan bergelombang. Suspensinya juga terasa nyaman, karena ternyata mobil taksinya jenis Crown 3000 cc, keluaran Toyota.

Bab. II, Gelombang Mejiku.

Selama perjalanan itu, kami sempat ngobrol dengan sopirnya. Orangnya seusia lima puluhan tahun, rambutnya beruban dan agak jarang, tubuhnya agak gemuk tapi cekatan dalam berkendara –ya namanya juga sopir- dan lumayan fasih berbahasa Inggris dengan logat setempat yang biasanya berakhir ‘a.

Saya lupa nama lengkapnya tapi dia mau dipanggil mister Choi. Karena suasana yang ringan, kami lebih memilih orang terkenal sebagai bahan obrolan, seperti penyanyi Teresa Teng, bintang-bintang film Hong Kong seperti Tommy Tilung, Jacky Chan, Jimmy Wang Yu, Chen Kuan Tai, Gong Li, Yang Che Chiung (Michele Yeoh), Maggie Cheung dan lainnya. Jelas orang-orang itu yang dibahas, sebab kalau membahas saya, sudah pasti mister Choi nggak bakal kenal.

Topik cuaca juga menjadi bahasan. Mister Choi bilang dua hari lagi suhu udara di Hong Kong akan drop menjadi 10-an derajat selsius. Tentunya ini informasi yang penting bagi kami untuk mempersiapkan pakaian yang bisa menetralisir terpaan hawa sesejuk itu.

Entah karena pengaruh suasana bahwa sedang berada di negeri orang, menurut penglihatan saya, suasana alam sekitar selama perjalanan sore hari itu, pemandangannya tidak seperti di Indonesia dalam konteks dominasi warna yang tertangkap oleh mata. Pemandangannya berwarna kekuningan agak berkabut terasa mendominasi indera penglihatan saya. Mungkin ini pengaruh dispersi sebaran warna matahari yang menerobos awan atmosfir pada sudut yang tidak selurus wilayah khatulistiwa. Karena wilayah Hong Kong dan Cina cenderung berada di wilayah lintang sebelah utara. Sehingga hasil disperse cahaya matahari pada wilayah itu cenderung ke ranah gelombang warna mejiku (merah, jingga, kuning). Jadinya warna sekumpulan pepohonan tidak sehijau terlihat jika sekumpulan pohon itu tumbuh berkembang di Indonesia, juga bukit dan gunung tidak sebiru jika bukit dan gunung itu menonjol dipermukaan tanah di Indonesia, termasuk lautnya, tidak sebiru air laut di Indonesia. Warna lautnya cenderung keabu-abuan. Mungkin fenomena ini disebut eye jetlag. Atau mungkin istilah Jogjanya; Nglaras Dagadu (Mengkalibrasi Matamu).

Bab. III, If You Drink, Don’t Drive.

Seingat saya, selama perjalanan ¾ jam-an itu, kami melewati 3-4 terowongan yang beberapa diantaranya adalah terowongan di bawah laut, saya kurang tahu persis di terowongan yang mana. Tapi perasaan saya adalah di terowongan yang paling panjang dan paling banyak lampu penerangannya namun tetap terasa dalam ruang yang gelap.

Seingat saya juga, kami melalui 2 jembatan yang tampak kokoh terdiri dari 2-4 jalur untuk satu arah dengan lebar kurang lebih 6-8 meter dengan panjang berkisar 500 – 1000 meter. Karena namanya jembatan, berarti jelas bahwa bangunan ini berada di atas permukaan air, tepatnya air laut. Pada setiap jalurnya terlihat warna kehitaman dibagian tengah ruas jalan setiap jalur yang menandakan setiap mobil patuh untuk melaju pada jalur yang ditentukan.

Terdapat satu jembatan yang memiliki tiang penyangga yang sangat lebar – menurut saya – dengan diameter sekitar 5-7 meter, terbuat dari beton, tempat terpautnya pilar-pilar penyangga yang memperkuat ruas jalan jembatan. Dan yang unik, pada setiap radius 200 meter-an menjelang masuk jembatan dan terowongan, terdapat tulisan elektronik yang dapat dilihat jelas dalam jarak 100 meteran, bertuliskan; ‘If You Drink, Don’t Drive’.

Saya sempat merenung kenapa tulisannya ‘If You Drink, Don’t Drive’ bukan ‘If You Drunk, Don’t Drive’. Setelah beberapa saat merenung sambil saya mengernyitkan bulu alis dan ngelus-ngelus dagu saya juga sambil mingkem, maka kiranya saya mendapatkan jawaban bahwa, justru tulisan yang pertama yang tepat karena lebih mencerminkan pengendalian risiko sejak dini. Jadi nggak usah nunggu mabuk dulu, tapi dimulai jangan minum dulu untuk kemudian jangan nyopir. Tapi kiranya kalimat mendasar seperti itu masih belum bisa diterapkan di Indonesia, bisa jadi malah dijadikan bahan guyonan; ‘masak nyopir nggak boleh minum ?’. Salah-salah bisa dijadikan bahan diskusi serius oleh kalangan anggota dewan perwakilan rakyat di Senayan.

Bab. IV, 69.

Tak terasa, diperlukan waktu kurang lebih tiga perempat jam-an dari bandara menuju tempat penginapan dengan kecepatan mobil taksi rata-rata 90 km/jam. Setelah check in, mandi dan beristirahat sejenak, malam itu kami mencoba untuk berjalan-jalan mengitari beberapa blok sekitar penginapan sambil mencari restoran untuk makan malam. Berbekal informasi dari Jakarta bahwa di sekitar penginapan terdapat restoran yang menyediakan masakan melayu bernama Cinta-J.

Benar, setelah 15-an menit berjalan kaki kami melewati gedung imigrasi dan melalui satu jembatan penyebrangan kemudian berbelok ke arah kanan kemudian masuk jalan satu arah, kami tiba di jalan Jaffe Road dimana restoran itu berada di no. 69. Angka 69 ini kemudian dijadikan nomor punggung setiap penyaji direstoran itu, yang mengenakan seragam kaos berkerah berwarna hitam. Tulisan angka 69nya sendiri besar berwarna merah.

Rupanya kebanyakan penyaji masakan berasal dari Filipina. Pada awalnya kami bertiga disangka oleh orang-orang penyaji di restoran itu dari Filipina juga. Ketika mereka mengucapkan salam persahabatan menggunakan bahasa Tagalog, kami cuman senyam-senyum sambil bilang dari Jakarta. Tapi tetap mereka menyapa ramah sambil bilang; “Oh, off course Jakarta…mari-mari silakan duduk…mari pesan”. Salah satu penyaji, yaitu bapak-bapak bilang bahwa ada juga temannya penyaji yang dari Bandung, cuman lagi cuti.

Dengan menggunakan alasan hawa dingin dan tepatnya perut yang sudah menyanyikan lagu bengawan solo, kami pun memilih menu masakan yang sebenarnya juga bisa kami nikmati nggak usah jauh-jauh ke Hong Kong, seperti; sup buntut, nasi goreng sea food, sate sapi bumbu kecap, mie goreng sea food dan tahu goreng. Sebenarnya saya dan salah satu rekan seperjalanan berminat untuk mencoba nasi lemak yang ada dalam menu plus fotonya. Tapi si penyaji bilang kalau menu nasi lemak tersedianya hanya mulai pukul 10 pagi sampai 5 sore. Pas pesan mie goreng saya coba wanti-wanti ke penyajinya untuk nggak pake pork/ibab/ngok. Itu yang penting dulu. Nanti perkara pas masak, terus tukang masaknya secara refleks –karena sudah terbiasa- tetap memberikan beberapa irisan ngok, ya bukan salah saya… Iya to ? … Ngok.

Minumannya kami bertiga memilih teh khas cina dengan irisan lemon tea yang nantinya dicemplungin di dalamnya. Sambil menunggu masakan, kami menikmati hangatnya teh itu sambil ngobrol ngalor-ngidul-ngetan-ngulon kembali ngalor untuk kemudian ngidul dan seterusnya lagi.

Bab. V. Aduh Biyung.

Selang sekitar 20-an menit hidangan masakan pesanan pun tiba. Wah ! ternyata ukurannya serba jumbo. Nasi dan mie goreng sea foodnya melimpah ruah di dalam piring besar. Sop buntutnya berjejal dalam mangkok dengan irisan wortel, bihun dan daun bawang yang seolah tetap minta perhatian untuk dipandang. Satenya juga berdaging besar-besar seukuran jempol saya, dengan asap yang masih mengepul menebarkan pesona wangi kecap dan bumbu rahasia di dalamnya. Pikir punya pikir, mungkin porsi ini yang cocok untuk iklim di Hong Kong atau juga –nantinya akan saya rasakan- bahwa di Hong Kong perlu energy plus untuk bekal jalan berlama-lama.

Namun saya tak kuasa berpikir lama-lama, karena masakan yang tersaji tidak hanya jumbo ukurannya, namun jumbo juga kelezatannya. Benar ini. Bukan karena kami kelaparan, tapi memang makanan yang tepat berada didepan mata ini rasanya jubilah alaihim enaknya. Bumbu-bumbunya meresap kesetiap butiran nasi (upo) dan setiap juntaian mie-nya. Terdapat rasa khas oriental di dalamnya.

Sup buntutnya empuk dagingnya, cuman sedikit aroma dan rasa kuahnya kurang nendang karena mungkin bumbunya lebih diperhalus untuk disesuaikan dengan lidah orang Hong Kong atau expatriate yang sering menikmatinya. Tapi tak mengapa tetep rasanya adalah sup buntut, bukan sup makaroni biasa.

Tahu gorengnya juga tidak kalah bersaing dengan ketiga menu masakan tersebut di atas. Tekstur kulitnya tidak terlalu keras tapi tetap renyah, namun yang membuat unik adalah bagian dalam daging tahunya yang begitu lembut bertekstur putih kenyal, sambil mengeluarkan asap panas dari penggorengan. Tak kuasa gigi saya menggigit karena masih panas mongah-mongah, jadinya tahunya disobek (dipotek) untuk dicocolkan kedalam kecap manis berisi irisan cabe rawit. Saking enaknya, saya sampai lupa mempertanyakan darimana kecap manis khas Indonesia itu didapatkan dan merknya apa, sampai tulisan ini saya ketik.

Yang paling juara adalah sate sapi bumbu kecapnya. Terdapat 12 tusuk sate dalam satu paket -yang bahasa Jawa-nya ‘sejinah’- dan disediakan anglo kecil dengan arang yang membawa di dalamnya untuk menghangatkan sate yang akan dinikmati. Baru kali ini saya menyadari bahwa kata ‘Aduh Biyung’ itu bisa digunakan untuk mengekspresikan rasa kenikmatan yang tiada tara. Dalam setiap gigitannya, gigi dan lidah saya dimanjakan dengan sensasi aduhai daging yang empuk-empuk renyah gurih manis gimanaaa gitu. Wes pokoknya ‘Aduh Biyung’ saya dibuatnya.

Setelah menikmati menu masakan istimewa malam itu, kami menyempatkan jalan-jalan mengitari beberapa blok di wilayah itu sebelum kembali ke penginapan. Jika waktu berangkat kondisi jalan trotoar dan jembatan penyebrangan masih sepi, maka sekitar pukul 9 malam, jalanan justru ramai dipenuhi oleh orang-orang yang pulang dari tempat kerja. Saya bolak-balik ketabrak dan nabrak orang yang jalannya seperti orang yang sedang tergesa-gesa takut ketinggalan sesuatu.

Kebanyakan orang-orang yang berjalan tidak berlenggang kangkung sambil menengok ke kiri dan ke kanan, tapi menunduk ke bawah, atau ngobrol sama temannya, atau ngobrol pake handphone, atau kelihatannya ngomong sendiri sambil jalan, karena pake handphone yang dipasang di kuping. Hampir semua orang mengenakan jaket atau jas untuk mengusir hawa yang dingin, tapi jalannya kebanyakan sambil kelihatan terburu-buru, mungkin juga supaya tubuhnya menjadi hangat dan aturannya adalah berjalan kedepan di sebelah kanan. Karena kebanyakan berjalan kaki, kebanyakan orang Hong Kong, apakah pria atau wanita, muda atau tua, terlihat bertubuh ramping, tegap dan sigap. Malam itu rasanya saya menjadi pejalan kaki yang paling gemuk di Wan Chai. Tapi seringkali tinggi saya sama sampai di atas rata-rata dibanding kebanyakan pejalan kaki di sana.

Setiba di penginapan dengan disain kamar yang minimalis namun bersih dan rapi, tubuh saya mulai dari kaki sampai tangan, leher dan tulang belakang memohon kepada otak untuk dapat segera beristirahat setelah hampir seharian duduk dan berjalan. Banyak jalannya malah daripada duduknya. Saya mencoba merebahkan tubuh saya di kasur, bleg ! ‘Aduh Biyung’ kasurnya berpegas bagus, lurus tapi empuk dan tulang belakang saya terasa tidak menekuk. Tadi ‘Aduh Biyung’ makannya, sekarang ‘Aduh Biyung’ tidurnya.

Bab. VI, Feminisme Bulu.

Keesokan paginya, setelah menikmati sarapan dua butir telor ayam kampung, sebungkuk roti Croissant yang gurih renyah dan wedang kopi hangat, saya dan rekan seperjalanan berencana menuju daerah Lung Kwu Tan di distrik Tuen Mun yang berada diwilayah daratan Cina di sebelah barat laut dari distrik Wan Chai atau kepulauan Hong Kong.

Karena masih pagi, untuk mengisi waktu luang menjelang waktu keberangkatan ke daerah itu, kami memilih untuk jalan-jalan sekitar beberapa blok dari tempat penginapan. Rupanya sekitar pukul 9-an pagi jalanan mulai ramai dibanjiri oleh para pejalan kaki Hong Kong.

Ramainya melebihi malam sebelumnya pada jam yang sama. Tapi gaya dan ritme berjalannya kurang lebih sama, yaitu buru-buru, tidak berlenggang kangkung, minim tengok kiri kanan, wajah menunduk ke depan, atau ngobrol sama temannya, atau ngobrol menggunakan handphone, atau kelihatannya ngomong sendiri karena menggunakan handphone yang dipasang di kuping. Juga mengenakan jaket atau jas. Termasuk jalan ke depannya ada di sebelah kanan. Kalau mau berbalik arah ya otomatis harus mengambil posisi yang tadinya di sebelah kiri, untuk menjadikannya menjadi sebelah kanan. Karena selama itu saya belum melihat ada orang berjalan mundur demi menjadikan posisinya berjalan seolah-olah menjadi sebelah kiri.

Dalam pengamatan saya, terdapat model jaket dan sepatu yang khas, terutama yang digunakan oleh para wanita muda-nya, yaitu jaket parasut agak tebal dengan motif terdapat kembungan kotak-kotak berjahit dengan warna yang agak mencolok seperti merah, hijau dan biru. Untuk model wanita terdapat bulu-bulu di bagian kerahnya, sedangkan untuk model pria tidak terdapat bulu di kerah dan berwarna gelap seperti hitam atau biru dongker, tapi jahitan kotak-kotak mengembungnya kurang lebih sama.

Beberapa diantaranya juga mengenakan jas yang model panjang hingga menutupi bagian dengkul dengan corak warna yang lebih kalem dibanding jaket-jaket parasut tadi. Juga banyak yang mengenakan syal penutup leher (bahasa ketika saya masih kecil dulu, syal seperti ini dinamakan ubel-ubel). Tapi yang mengenakan topi hampir tidak ada. Yang mengenakan topi adalah para polisi patroli yang berjalan kaki berkelompok 2-3 orang, mengenakan jaket parasut panjang warna biru dongker dengan dibekali tongkat pentungan, handy talkie, borgol dan pistol genggam. Topi yang dikenakan modelnya mirip dengan topi polisi di Indonesia, cuman warnanya hitam pekat.

Model sepatunya kebanyakan sepatu kulit yang menutupi betis hingga bagian bawah dengkul sedikit. Maksud saya, dengkul dan paha wanita-wanita muda itu tetap tidak kelihatan karena tertutup celana panjang yang disarungkan ke dalam sepatu itu. Dalam pengamatan saya waktu itu, tidak ada pria atau wanita yang berani berjalan sambil mengumbar dengkul atau paha ketika cuaca sedingin 12-an derajat selsius pagi itu. Bisa masuk angin. Can enter wind.

Ada juga model sepatu yang lebih lucu yang dikenakan banyak wanita muda di Wan Chai, yaitu sepatu model beludru yang tingginya hingga 10 senti-an di atas mata kaki berwarna coklat atau abu-abu khakhi. Bentuk haq-nya agak tinggi dari sepatu kasual tapi lebih rendah dari sepatu kulit seperti penjelasan di atas. Beberapa diantaranya dihiasi semacam bulu-bulu pendek di ujung bagian tempat memasukkan kaki. Jadi, saya hampir pada kesimpulan bahwa hiasan berupa bulu-bulu pada sepatu dan jaket itu identik dengan feminisme di sini.

Bab. VII, Kredo Kuthuk-Kuthuk.

Menjelang pukul 10-an, hampir semua toko di daerah ini telah dibuka. Menurut saya, para pejalan kaki di Hong Kong telah difasilitasi dengan sarana berjalan kaki yang nyaman. Trotoarnya bersih dan kondisi jalan trotoarnya tidak menyebabkan kaki kesleo karena mendadak pejalan kaki terperosok kedalam lubang jalan yang rusak, misalnya. Di sepanjang jalan trotoarnya sedikit terdapat pedagang kaki lima. Kayaknya keberadaannya memang dibatasi untuk setiap beberapa puluh meter. Biasanya pedagang kaki limanya berjualan Koran atau minuman ada juga tukang ganti batere dan kulit arloji. Pernah juga saya temui yang berjualan sisir, serit, gunting kuku dan peniti.

Rata-rata lebar trotoarnya sekitar 1,5 – 2 meter-an. Dan rumus berjalan ke depan berada di posisi sebelah kanan kebanyakan tetap dijalankan untuk dipatuhi. Untuk beberapa ruas jalan trotoar yang mepet dengan jalan raya tempat lalu lalang kendaraan bermotor yang searah dengan posisi berjalan kedepan pejalan kaki, dibatasi dengan sekat besi untuk mencegah kecelakaan bagi pejalan kaki karena terlanggar kendaraan di jalan. Juga pada setiap celah jalan yang mengharuskan pejalan kaki menyebrang, di aspalnya terdapat tulisan berwarna putih besar-besar deretan huruf cina dengan tulisan dibawahnya ‘Watch Your Right’ untuk celah jalan menyebrang dimana terdapat kemungkinan kendaraan bermotor melaju dari arah kanan atau ‘Watch Your Left’ untuk sebaliknya.

Pada beberapa lokasi, terdapat orang-orang yang sedang bekerja memperbaiki kondisi fisik jalan. Di setiap lokasi perbaikan, selalu dipasang pagar besi pengaman berwarna kuning dan papan peringatan bahwa jalanan sedang dalam perbaikan. Semua pekerjanya mengenakan alat pelindung diri seperti helm, sepatu safety, sarung tangan dan jaket spotlight berwarna kuning atau oranye. Cara bekerjanya pun terlihat serius. Ketika saya mencoba mendekati perbaikan seperti apa yang dilakukan untuk tingkat kerusakan jalan yang harus ditangani ‘seserius’ itu, yang membuat saya agak kaget ternyata untuk kerusakannya ‘hanya’ lubang di jalan seukuran panjang 50-an senti, lebar 20-an senti dan dalam sekitar 10-an senti. Tapi memang dibeberapa tempat ada kerusakan yang cukup parah, seperti yang saya lihat malam sebelumnya disebelah kiri seberang jalan tempat kami menikmati makan malam. Poinnya adalah; kerusakan ‘kecil’ ataupun parah, dinilai dapat merugikan pengguna jalan dan sama-sama ditangani serius.

Yang unik dan bikin teringat-ingat ketika berjalan kaki di sini, adalah bunyi khas berupa sinyal bagi pejalan kaki yang hendak menyebrang jalan raya tempat lalu lintas kendaraan bermotor, baik mobil, bus atau trem. Para pejalan kaki akan berhenti menunggu jalan yang masih dilalui kendaraan bermotor dengan kecepatan sekitar 20-40an km/jam ketika sinyal lampu pengatur jalannya berwarna merah dan membunyikan suara; ‘Thuk..thuk..thuk’ dengan irama pelan secara teratur melalui corong semacam speaker yang terpasang ditiang lampu itu. Ketika lampu berubah menjadi hijau untuk pejalan kaki yang hendak menyebrang, kontan bunyi sinyalnya berubah menjadi; ‘Thuk..kuthuk kuthuk kuthuk kuthuk kuthuk kuthuk kuthuk…’ dengan irama cepat selama kurang lebih 15 sampai 20-an detik.

Ketika lampu tanda pejalan kaki berubah menjadi kuning, sinyal suaranya pun berubah menjadi; ‘Truthuk..truthuk..truthuk…’ selama kurang lebih 5 sampai 10-an detik dengan irama yang lebih lambat dibanding ketika masih berbunyi ‘..kuthuk kuthuk kuthuk kuthuk..’ tadi, hingga sejurus kemudian bunyinya berubah lagi menjadi ‘Thuk..thuk..thuk’ yang menandakan pejalan kaki tidak boleh menyebrang, karena kendaraan bermotor langsung menderu kencang.

Sepengamatan saya, untuk menyebrang di jalan raya di Hong Kong merupakan faktor penting untuk dijadikan kewaspadaan agar terhindar dari kecelakaan bagi pejalan kaki. Pejalan kaki lebih memilih tempat penyebrangan yang disediakan yang difasilitasi dengan tempat menunggu yang aman dan sinyal berbunyi ‘kuthuk-kuthuk’ itu tadi. Apabila terlanggar karena menyebrang tidak pada tempatnya, sangat dimungkinkan pengendara bermotor tidak bisa disalahkan, karena fasilitas bagi pejalan kaki telah disediakan. Malah bisa jadi yang terkena hukuman adalah pejalan kakinya. Apalagi jika kendaraan bermotor melanggar pejalan kaki yang menyebrang sesuai dengan tempat dan kesempatannya.

Bab. VIII, Gak Bakal Alay.

Kondisi kota yang padat namun teratur dan tanpa macet menjadi pemandangan utama pagi itu. Calon penumpang bus umum tampak antri dengan rapi menunggu busnya tiba mengantar tujuan masing-masing. Sekilas saya lihat kondisi dalam bus-nya memiliki tempat duduk berbahan busa dan ada ruangan untuk penumpang yang berdiri. Kayaknya bus-nya memiliki AC. Kebanyakan bus bertingkat dua dan tidak memiliki kenek atau kondektur. Disamping kiri sopir bus terdapat semacam tempat memasukkan uang koin logam dengan tulisan elektronik 9.3 atau ada juga yang 14.8. Saya tidak tahu bus itu untuk jurusan kemana untuk ongkos jasa antar sebesar itu. Juga saya belum bisa membayangkan bagaimana seandainya ada penumpang yang minta uang kembalian.

Saya belum sempat mencoba menikmati bus umum yang terlihat nyaman dan tepat waktu untuk datang di setiap halte. Di bagian luarnya mirip kebanyakan bus umum di Jakarta, ditempeli gambar-gambar iklan produk tertentu dengan foto bintang selebretis seperti Takhesi Kanisiro atau komedian Eric. Juga beberapa terdapat iklan film yang sedang diputar dikebanyakan bioskop di Hong Kong yaitu sekuel Sherlock Holmes yang dibintangi Robert Downey, Jr dan Jude Law.

Selain bus sebagai sarana transportasi umum, juga terdapat trem yang rutin melewati sepanjang Hennesy Road. Kondisi bagian dalamnya mirip bus umum tadi, tapi lebih terbuka karena bagian jendela dan pintunya tidak ditutupi oleh kaca. Penumpangnya tidak umpel-umpelan sampai ke pintu atau tidak ada yang nggandol di bagian atap. Belnya bunyinya tidak mak ‘thin-thin’ tapi seperti lonceng mak ‘theng-theng’. Kesamaan keduanya dan kendaraan bermotor yang melalui jalan raya disini, adalah emisi gas buangnya yang terkendali. Tidak terlihat mengeluarkan asap dari knalpot, yang menyebabkan aroma dan pemandangan menjadi kurang nyaman.

Melihat pemandangan pedestrian, jalan raya dan sarana transportasi umum seperti itu, terus terang membuat saya iri. Betapa tidak, orang-orang yang membutuhkan sarana berjalan kaki disediakan tempat yang nyaman dan aman. Begitu juga bagi yang membutuhkan angkutan transportasi umum, begitu mudah untuk mendapatkannya, tanpa harus berlari-lari tergopoh-gopoh mengejar bus, atau rebutan naik dari pintu depan atau belakang, atau umpel-umpelan kayak mbako enak di dalam bus atau kereta api. Juga para pejalan kaki tidak akan jadi alay, karena wajah dan rambut tidak akan berbau asap knalpot dan keringat terbakar matahari, walau berjalan kaki seharian.

Rasa iri itu muncul, karena dengan melihat pemandangan yang relatif rapi seperti itu, bayangan saya sontak mencoba membanding-bandingkan dengan kondisi sarana umum bagi pejalan kaki, transportasi dan jalan raya di Jakarta. Seringkali saya tidak rela jika –terutama- para pelajar, mahasiswi, karyawati dan ibu-ibu hingga nenek-nenek mengalami kerepotan untuk sekedar mengantri angkutan umum, atau berdempet-dempetan penuh sesak dengan lawan jenis di dalamnya, atau dimintai uang jasa oleh kondektur atau kenek dengan cara menge-crik-nge-crik-kan uang logam ditangan kanannya kayak preman minta setoran, atau ketika sedikit berteriak kaget pas bus-nya ngerem mendadak belum lagi kalau ada yang latah, atau masih dipertengahan jalan disuruh turun ganti ke bus yang di depannya, atau kepanasan di dalam bus karena ngetem lama, atau pas turun kaki yang satunya masih nggantung bus-nya sudah tancap, atau harus kerepotan untuk mengusir-usir asap hitam knalpot dari bus umum ataupun truk sewaktu menunggu di halte dan lain sebagainya yang mencerminkan kekurangnyamanan sarana angkutan umum. Padahal kebanyakan wanita di Indonesia –terutama di Jakarta- itu berparas ayu, cantik jelita dan rupawan/good looking. Jadinya saya nggak rela kalau mereka diperlakukan demikian. Kalau untuk yang kaum pria tidak saya bahas disini, karena mereka bukan lawan jenis saya.

Bab. IX, Mendadak Berkacamata.

Dari berbagai kemudahan, kenyamanan dan keamanan sarana transportasi dan pedestrian di Hong Kong, maka sangat dimungkinkan penduduknya akan lebih memilih untuk menggunakan angkutan umum atau berjalan kaki ketika menuju ketempat kerja atau tujuan lainnya. Dalam pengamatan saya, jarang terdapat kendaraan pribadi yang berlalu lalang. Kalaupun ada, biasanya jenis mobil mewah. Berarti yang punya mobil Pribadi itu orang yang kaya banget di Hong Kong. Bagaimana tidak perlu uang banyak untuk punya mobil Pribadi di Hong Kong, jika ongkos parkirnya berkisar 23 HKD per-jam, atau setara 25 ribu-an rupiah per-jam.

Selama berjalan melewati beberapa blok, saya tidak melihat adanya mall atau toko serba ada yang besar, tapi berupa toko-toko kecil yang cenderung memiliki lapak-lapak di bagian luar atau samping yang tidak mengganggu jalannya pejalan kaki. Walaupun tokonya kecil dan berkesan kelontongan, tapi kebanyakan barang yang dipajang dan dijual di dalamnya adalah barang-barang branded lokal maupun internasional. Beberapa produk bermerk terkenal seperti kemeja, parfum, arloji, hape, barang elektronik dipajang dalam toko yang terlihat sederhana. Beberapa toko diantaranya memiliki tulisan peringatan ‘Thief is A serious crime’ dengan gambar mata yang seolah mengawasi setiap pengunjung di atas tulisan itu. Seringkali toko-toko itu berdampingan dengan kedai-kedai makanan dan minuman, yang tingkat di atasnya menjadi kompleks rumah susun.

Bayangan bahwa penduduk Hong Kong begitu padat dapat terlihat di pemandangan bagian luar setiap gedung yang menjadi rumah susun yang menghadap ke jalan raya. Rumah-rumah susun itu mungkin terdiri dari 20-30-an lantai. Beberapa diantaranya direnovasi yang terlihat dari susunan bambu penyangga para pekerja yang dilindungi semacam kelambu plastik dan papan tulisan peringatan sedang ada pekerjaan disekitarnya. Apabila diamati secara teliti ketika saya mendongak kearah rumah susun itu, maka banyak sekali berkibar bermacam jenis dan ukuran baju, selimut, pakaian dalam atau kain-kain semacamnya yang sedang dijemur, apakah disorong menggunakan semacam tongkat atau disampirkan disamping tempat mesin AC outdoor. Tentunya saya tidak berharap kain-kain itu tiba-tiba tersapu angin kencang yang mengakibatkan benda itu melayang-layang ke bawah dan hinggap di seorang pejalan kaki. Iya kalo kain persegi. Lha kalo pas BH yang melayang, terus hinggap tepat dibagian wajah pejalan kaki, apa nggak otomatis orang itu akan langsung berkacamata.

Tidak terasa, kami sudah hampir 1,5 jam-an berjalan kaki menyusuri beberapa blok dari tempat menginap sekedar meluangkan waktu sebelum berangkat ke tujuan. Rasa capek belum terasa, karena biasanya ukuran capek adalah karena keluarnya keringat. Padahal, selama itu kami bertiga belum berkeringat walaupun sudah berjalan dengan kecepatan yang agak buru-buru dan saya mengenakan jaket, juga kedua rekan saya mengenakan setelan jas. Malah bolak-balik saya dan kedua rekan saya mencari-cari tumpangan toilet untuk buang air kecil karena kedinginan. Mungkin ada beberapa warga Wan Chai yang mengamati kami sambil berkata dalam hati; “..ini turis darimana kok dari tadi jalan-jalan sambil bolak-balik cari toilet tumpangan ?”. Atau istilah Jawa Timur-annya; “..koen iku rek, wes gak blonjo, ngoyoh tok ‘ae..”

Bab. X, PLN Dibaca Plan.

Pukul 10-an, saatnya berangkat menuju ke distrik Tuen Mun. Kami memilih jenis taksi yang sama dengan yang kemarin kami tumpangi. Kali ini nama sopirnya adalah mister Hung, usianya hampir sama dengan mister Choi tapi agak lebih muda 2-3 tahun, dengan perawakan yang lebih langsing rambut hitam lebat dan sama ramahnya dengan mister Choi, dengan ungkapan bahasa inggris berdialek mandarin dengan akhiran ‘a.

Kondisi mobil taksinya kurang lebih sama dengan yang kemarin. Dalam perjalanan itu, mister Hung sempat menunjukkan beberapa gedung yang terkenal, yang terlihat pemandangannya dipagi hari itu, seperti International Commerce Center sering disingkat ICC dan Two International Finance Center, lebih sering disingkat IFC tanpa T. Kedua gedung itu memang terlihat menjulang di antara gedung-gedung yang lebih pendek di sekelilingnya dan dari kejauhan tampak menjulang. Juga jembatan yang terkenal tapi tidak kami lewati, cuma saya lupa namanya. Dan bangunan tua peninggalan kerajaan Inggris yang terlihat paling pendek diantara gedung-gedung modern disampingnya. Sayangnya, lagi-lagi saya lupa namanya. Pemandangan alam selama perjalanan, terutama ketika melewati jembatan di atas lautan, warna dominan pemandangannya masih sama seperti sore kemarin, yaitu berkesan kekuningan dan agak berkabut.

Waktu perjalanan juga hampir sama dengan kemarin, dari penginapan ke tujuan di Lung Kwu Tan diperlukan kurang lebih 30-an menit dengan kecepatan mobil rata-rata 90 km/jam. Di daerah itu kami melakukan pertemuan bisnis guna evaluasi kinerja layanan jasa dari perusahaan tempat kami bekerja kepada pelanggan yang bergerak dibidang penghasil sumber daya energi listrik.

Sekembali dari pertemuan dan dalam perjalanan pulang menuju penginapan di Wan Chai, saya sempat melihat pemandangan di sekitar instalasi sumber tenaga listrik dari perusahaan tersebut yang menurut pemahaman saya; mereka telah memiliki sistem yang luar biasa, untuk ukuran produsen listrik bagi konsumen untuk seluruh Hong Kong dan new territory-nya saja dengan estimasi memenuhi kebutuhan listrik bagi 7 juta-an manusia. Saya hanya membayangkan, perusahaan itu bisa menjamin kebutuhan pasokan listrik di wilayah yang menjadi tanggungjawabnya dengan segala konsekuensinya apabila terdapat keluhan dari pelanggannya jika listrik tiba-tiba padam, atau dibuat jadwal pemadaman bergilir, atau tiba-tiba padam tanpa pemberitahuan, atau hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme penarikan tagihan iuran listrik dan hal-hal lain sekecil apapun terkait dengan kebutuhan listrik bagi 7 jutaan jiwa itu.

Pemenuhan kebutuhan listrik merupakan upaya yang ditangani secara serius oleh pemerintah Hong Kong dan new territory-nya. Hal ini sangat dimungkinkan penyebabnya karena selain tuntutan dari kebutuhan masyarakatnya untuk menunjang aktifitas rutin sehari-hari, juga disadari bahwa sumber penghasilan utama negeri itu adalah dari pengelolaan jasa finansial yang mengharuskan alur informasi selalu mutakhir selama 60 detik semenit, 60 menit sejam, 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan seterusnya, tanpa ada toleransi untuk tidak termuthakirkan sedetikpun karena aliran listrik yang terputus.

Artinya, akan sangat dihindari terjadinya kesalahan perencanaan untuk meningkatkan kinerja rutin yang berujung pada perolehan keuntungan oleh banyak investor multi nasional yang menanamkan sahamnya di Hong Kong, hanya karena putusnya aliran listrik sedetikpun. Gambaran radikalnya seperti itu.

Nah, selanjutnya para pelaku bisnis di Hong Kong itu, akan mendistribusikan sebagian dari keuntungannya yang diperolehnya sebagai benefit bagi penyedia sarana dan prasarana umum, agar para pelaku bisnis yang berkinerja di Hong Kong juga masyarakat penduduknya akan tetap betah tinggal dan berkarya di dalamnya dan menjadi asset yang akan dikelola sedemikian rupa sehingga akan memakmurkan negeri itu dengan sendirinya.

Bab. XI, Bhinneka Tunggal Ika.

Hari masih sore dan terang, ketika kami tiba di distrik Wan Chai. Dengan visi bahwa pertemuan dengan pelanggan di distrik Tuen Mun itu memerlukan upaya persiapan dan komitmen pelaksanaannya yang nantinya akan ditindaklanjuti secara serius agar menjadi kepercayaan yang berkesinambungan, maka secara ilmiah tentunya diperlukan kondisi fisik kami yang prima, yang berarti diperlukan energi yang optimal serta kemampuan kami untuk berpikir cermat, yang berarti diperlukan protein guna menunjang ketajaman otak untuk merangsang munculnya gagasan-gagasan kreatif yang mampu mendisain pilar-pilar mendasar bernuansa terobosan/breakthrough, maka singkat kata; kami bertiga kelaparan.

Kami pun sepakat untuk kembali menuju restoran Cinta-J untuk memenuhi keinginan kami yang tertunda sebelumnya, yaitu menikmati menu masakan Nasi Lemak, khas melayu. Singkat cerita, menu nasi lemak pun akhirnya terhidang. Porsinya bisa dibilang jumbo, karena gundukan nasinya terlihat padat. Gundukan nasi bertabur bawang goreng yang memposisikan diri sebagai sang raja penengah itu dikelilingi oleh para hulubalangnya berupa ; ayam goreng nan mengkal mengkilat, gulai tahu plus irisan kacang buncis nan melimpah, irisan telor rebus yang digoreng dengan lelehan sambal nan memanja di atasnya, sejumput kacang goreng nan ja’im dan sambal krecek yang malu-malu mengakui keberadaannya.

Dari aromanya, sejak awal saya menduga pasti rasa nasinya seperti nasi uduk. Dan benar, memang rasanya dominan seperti nasi uduk tapi lebih kaya bumbu rempah. Jadinya, lebih dalam tingkat keudukannya. Gorengan ayamnya tanpa dibuang kulitnya, sehingga terasa kriuk dengan bagian dalam dagingnya yang empuk, putih dan masih mengepulkan asap ketika digigit. Gulai tahunya berasa sedikit manis seolah merangsang untuk mengarahkan jari jemari tangan kanan melalui sendok mengambil sambal pedas yang bermanja di atas telor ditambah sambal krecek agar rasa manisnya ketika ditambahkan nasi lemak itu, menjadi kaya, beragam namun penuh keharmonisan. Bhinneka Tunggal Ika, ibaratnya.

Kali ini saya lebih memilih teh Cina tanpa lemon sebagai penawar lemak yang ditawarkan dari nasi lemak yang saya nikmati. Jelas, yang namanya teh Cina, akan terasa nikmat jika diseruput panas-panas tanpa gula. Warnanya agak cerah dibandingkan teh tubruk buatan saya di rumah, namun rasanya lebih ringan walaupun aroma tehnya terasa wangi. Siraman teh hangat kedalam kerongkongan saya sore itu benar-benar membantu peluruhan lemak ataupun kandungan porsi nasi lemak lainnya yang mungkin masih menggantung dan mengendap dalam kerongkongan untuk kemudian dipandu masuk keharibaan lambung dan sistem kolon; usus dua belas jari, usus halus dan usus besar, guna diserap seluruh intisari bahan kimiawi yang berguna bagi nutrisi untuk otak itu tadi.

Bab. XII, Ikuti Nurani.

Setelah mengobrol sejenak, sembari membiarkan sari karbohidrat, protein, mineral, lemak, vitamin dan air sedikit diproses dalam sistem pencernaan dan mempertimbangkan suasana masih terang sore hari, kamipun memutuskan untuk melanjutkan wujud kami sebagai the Hong Kong walkers, menyusuri jalanan yang beberapa diantaranya telah kami lalui tadi pagi.

Salah satu tujuan kami adalah mengikuti rasa penasaran setelah tadi pagi kami melihat beberapa pemandangan barang yang dipajang di beberapa toko yang kami lalui. Dalam perjalanan tadi pagi, mata saya sempat tertumpu pada toko model kelontongan yang ternyata di dalamnya dipajang berbagai model dan tipe sepatu yang selama ini saya idam-idamkan. Dan sejak itu pikiran saya menginstruksikan hati agar berkata bahwa suatu saat nanti selama di sini saya akan kembali ke toko itu.

Toko itu berada di daerah poros jalan raya Hennesy Road. Pada salah satu jalur trotoar, memang terdapat deretan toko model kelontongan yang beberapa diantaranya model lapak-lapak yang menawarkan produk sepatu, apakah sepatu kasual, formal, lapangan hingga safety. Saya memilih masuk ke dalam toko yang tadi pagi sekilas mata saya menatap pajangan jenis sepatu idaman saya. Setelah memilih model dan tipe yang saya inginkan, saya coba balik di bagian sol sepatu tempat mencamtumkan stiker harga. Ternyata harganya bersaing dengan model dan merk sepatu yang sama yang dijual di Jakarta. Atau dengan kata lain lebih murah. Di Jakarta pun sepatu merk itu masih terdapat pajangannya di dua counter di dua plaza besar di wilayah Jakarta Selatan. Kalau tidak salah, peribahasa yang tepat untuk kondisi seperti ini adalah; pucuk dicita ulam tiba. Sudah bukan bagai punguk merindukan bulan lagi.

Namun saya belum memutuskan untuk membeli sepasang sepatu idaman itu, karena mencoba untuk mengecek apakah toko-toko disebelahnya juga menjual sepatu dengan merk dan model yang sama. Ternyata dari 4-5an toko yang saya masuki tidak memajang model sepatu idaman saya itu. Jadi adanya hanya di toko itu tadi, yang dijaga oleh encik SPG berusia 25-an tahun yang fasih berbahasa Inggris, bahkan sempat mengkoreksi bahasa Ingris saya ketika saya mencoba bertanya harga sepatu idaman saya itu, dari pertanyaan saya; “How many ?” menjadi dikoreksi; “How much, Sir…”, sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang di bagian tengah gigi seri atasnya tersempil gigi gingsul kecil.

Sempat keputusan untuk membeli sepatu idaman saya itu hampir tergoda karena saya mengantar kedua rekan saya yang lebih memilih toko semacam butik yang di dalamnya menawarkan aneka rupa setelan jas, pakaian dan celana untuk kaum pria. Saya akui model setelan jas yang dipajang itu bagus-bagus dan stylist, diimbuhi dengan daya pikat potongan harga pada model tertentu. Aneka model setelan jasnya banyak pilihan, seperti model kontemporer yang tipis berwarna abu-abu cerah mengkilat, atau model klasik seperti abu-abu agak gelap dan hitam dengan hiasan garis-garis lurus kebawah berwarna gradasi putih kehijauan tipis yang hampir tidak terlihat dari kejauhan, atau abu-abu dan coklat gelap serta hitam berbahan wool dan jas panjang yang menjuntai sampai ke daerah dengkul, yang cocok untuk digunakan dalam cuaca yang sejuk seperti seharian ini.

Saya sempat mencoba model klasik dengan ukuran yang paling besar yang tersedia di pajangan, yaitu nomer 52. Pas, fit and proper ditandai dengan potongan lengan yang berakhir pergelangan tangan saya agak ke bawah sedikit, ketika kedua tangan saya jatuhkan. Terasa nyaman karena bagian pundaknya tidak terlalu pres sedikit longgar tapi tidak terasa lodho. Dan masih bisa dikancingkan kedua kancingnya, walaupun agak sedikit memaksa mengingat kondisi otot perut saya yang cenderung progresif.

Saya mencoba mengangkat salah satu tangan tinggi-tinggi apakah ada rasa tertarik dibagian tangan lainnya atau perasaan tidak nyaman lainnya dibagian tubuh saya yang mungkin mengindikasikan kondisi jasnya terlalu ketat. Sama sekali tidak berasa tidak nyaman. Bahkan ketika kedua tangan saya gerak-gerakkan ke depan, ke atas, kesamping dan ke belakang. Comfort.

Kemudian, saya mencoba bercermin melihat bentuk saya ketika mengenakan jas itu di ruang ganti. Pas, stylist dan saya terlihat lebih ramping. Saya sempat menengok ke kiri dan ke kanan mencari tahu apakah di toko itu dipajang kaca mata hitam model futuristik, untuk sekalian saya kenakan berharap mirip seperti kebanyakan pemain di trilogi Matrix. Sayangnya di toko itu nggak jual kacamata hitam.

Memang, seusia 42-an tahun ini saya sama sekali belum pernah punya setelan jas. Jadi kalau ada foto-foto saya pas wisuda dulu mengenakan setelan jas, itu pinjam punya Bapak saya dengan model celana agak komprang karena jas itu dijahit di akhir tahun 70-an. Atau pas dilantik menjadi manajer pertamakali diusia 30-an, saya pinjam setelan jas punya sahabat saya jaman SMP. Mudah berkeringat karena hidup diiklim tropis, itu menjadi alasan saya kurang berminat untuk memiliki setelan jas. Sebagai gantinya, untuk menghadiri acara resmi saya lebih memilih batik yang berbahan katun, berlengan panjang untuk acara resmi yang bersifat protokoler atau kondangan dan berlengan pendek untuk acara resmi yang bersifat mengarah pada kegiatan operasional. Warna, corak dan motif batiknya terserah, karena kayaknya warna kulit saya adaptif.

Sebetulnya kedua rekan saya dan bapak-bapak yang menjaga toko itu mendorong saya untuk membeli setelan jas yang saya kenakan karena dinilai pas. Tapi sore itu nurani saya tetap terpatri pada sepatu idaman saya yang menanti dengan setia untuk saya datangi kembali, saya coba dan saya bawa pulang setelah dibayar.

Saya akhirnya kembali menuju ke toko tempat sepatu idaman yang sedang berharap-harap cemas untuk saya pinang. Enciknya pun hafal dengan saya sembari bilang; “ Hi, you’re back. See, there is no other store around here having these shoes. Only here…”. Saya cuma senyum dan mengangguk, karena bagi saya itu sepatu idaman saya ada di sini, titik. Dan harganya terjangkau, titik. Modelnya multi utility, titik. Bisa dipake ke lapangan, kantor atau jalan-jalan santai, titik. Titik titik di belakang koma, sepatu antik saya yang punya.

Biasanya ukuran sepatu saya adalah no. 10, tapi kali ini cukup no. 9 sudah fit dan langsung saya kenakan. Sensasi mak ‘blesh !’ ketika saya menyorongkan kaki memasuki rongga tempat kaki bernaung di bagian dalam sepatu itu, menjadi momen yang sepadan dengan waktu mengidamkan sepatu ini setelah sebelumnya saya hanya bisa menikmati melalui google untuk search model, tipe dan warna dari merk sepatu itu, selama dua tahun terakhir. Pertamakali mengenakan, agak kesulitan karena rangkaian talinya masih setting-an pabrik yang berbeda dengan rangkaian tali hasil setting-an saya. Juga karena kulitnya yang masih terasa kaku dan keras. Enciknya sampai bela-belain membantu menalikan kedua sepatu yang saya kenakan hingga terasa fit, sambil berjongkok bertumpu pada salah satu dengkulnya, di hadapan saya.

Dan sepatu idaman saya ini menumpu kedua kaki saya hingga berjalan terasa ringan dan dinamis, untuk kembali menyusuri jalanan di distrik Wan Chai sore itu menuju tempat penginapan, sambil menenteng sepatu lama saya yang dibungkus dalam kotak karton tempat sepatu baru yang saya kenakan saat ini dimana dia seharusnya berada.

Sore itu menjadi terasa cerah, walaupun langit sudah agak berwarna kemerahan menjelang maghrib, karena langkah saya terasa lebih mengambang seolah berpijak pada awan, sambil sesekali mencuri pandangan ke bawah, ke pasangan sepatu saya ketika kaki melangkah, tanpa diketahui oleh pejalan kaki sekitar.

Bab XIII, Lucky Star.

Ketika saya membuka tirai jendela kamar saya tempat menginap keesokan pagi harinya, suasana di luar mengindikasikan hawa yang dingin. Awan gelap, berkabut berwarna dominan keabuan. Dari ketinggian lantai 15-an, saya menikmati pemandangan pelabuhan, sesuai dengan nama penginapannya. Kesibukan di pelabuhan di bawah sana memperlihatkan adanya pembangunan dermaga baru dengan memperluas areanya menggunakan pasir yang disebar dan padatkan di area seluas beberapa hektar.

Tampak dari kejauhan lalu lalang tongkang yang membawa pasir untuk perluasan dermaga itu. Kesibukan sudah dimulai pada pagi hari yang terlihat dingin itu.

Setelah sarapan pagi, saya mencoba keluar dari penginapan. Baru beberapa langkah dari halaman depan, saya berbalik arah menuju pintu masuk lobby karena hawanya memang dingin berangin. Waktu memang masih menunjukkan pukul 8 pagi.

Benar kata mister Choi dua hari lalu, bahwa hari ini suhu udara berkisar 10-an derajat selsius. Padahal saya sudah punya rencana untuk melanjutkan perjalanan mengitari beberapa blok yang belum saya tilasi selama dua hari kemarin, sebelum sore nanti harus kembali ke tanah air. Juga sekalian sama menggerakkan badan supaya hangat dan membuat lemas sepatu baru saya.

Saya kembali ke kamar, membuka tirai jendela agar nanti terlihat cahaya matahari mulai muncul, sambil menikmati acara tivi buatan NatGeo tentang cara memasak bebek panggang khas cina. Sebenarnya bukan hanya bebek panggang yang diulas, melainkan juga ibab panggang beserta teknologi mengolah, memanggang dan mengiris dagingnya, sehingga menimbulkan bentuk masakan yang khas yang dihubungkan dengan beberapa jurus kung fu dan wu shu. Acara ini dipadu oleh komedian Eric yang terkenal dengan beberapa film genre komedi yang dibintanginya, antara lain yang diperankan bareng Jacky Chan dan Samo Hung dalam film My Lucky Star.

Sekitar pukul 9-an, sinar matahari mulai tampak membelah awan yang berkabut abu-abu. Melihat perubahan cuaca yang diperkirakan bisa menaikkan temperatur atmosfer itu, saya meninggalkan kamar dan langsung menuju pintu keluar penginapan untuk berubah wujud dari Hong Kong roomers, menjelma Hong Kong Walkers kembali.

Hawa dingin ternyata masih belum berubah dari pertama kali saya merasakan 1 jam-an yang lalu. Tapi kapan lagi ? kalau menunggu cuaca tidak sedingin ini harus menunggu 1-2 jam-an lagi ketika sinar matahari benar-benar tersebar merata di distrik Wan Chai. Padahal saya sudah janji sama anak-anak saya untuk membawa oleh-oleh berupa tas sekolah, sebagai bekal menghadapi pelajaran semester baru tahun depan karena tas sekolahnya yang lama sudah pada sobek atau cangkingannya putus.

Sebenarnya kemarin sore, saya sempat melihat toko yang khusus menjual aneka tas dan sempat saya melihat dipajang tas sekolah model jinjing untuk ukuran anak SD-SMP, masih di sekitar deretan pertokoan di jalan Hennesy Road. Tapi hari sudah menjelang petang dan mood untuk memilih belanjaan sudah tertutup oleh rasa lelah yang mulai membentuk, kemarin.

Saya sempat tersesat beberapa blok sebelum menemukan toko tas itu. Ancer-ancer seingat saya kemarin toko itu ada di deretan apotik Watson, tapi apakah dari apotik itu lurus, atau berbalik arah atau nyebrang ke kanan atau berbelok ke kiri, saya sempat lupa. Setelah sekitar 20-an menit berjalan tersesat sambil bersyukur karena justru tersesat badan menjadi lebih hangat, akhirnya saya menemukan toko tas itu.

Toko ini dijaga oleh dua orang bapak-bapak seusia pertengahan 50 tahun, lebih menjelang 60-an. Keduanya bertubuh langsing dengan tipe wajah yang khas Hong Kong. Salah satu dari kedua orang itu mengingatkan saya pada aktor film yang berperan sebagai Uncle Benny pada film Lethal Weapon 4.

Aneka tas dengan berbagai merk dan model tersedia di toko itu, semuanya merk orisinil buatan cina tanpa ada merk branded kategori KW. Selain tas, juga dipajang aneka dompet dan pembungkus cover paspor. Toko ini hanya menjual tas dan dompet untuk pria. Tidak ada tas untuk wanita, tapi untuk dompet ada. Dinilai dari kondisi fisik dan style-nya yang fashionable, maka -menurut hemat saya- kualitas dompet yang bagus nama merk-nya adalah Lucky Star.

Dompet dan pembungkus cover paspor merk Lucky Star, bentuknya tipis tapi kokoh, terlihat dari bentuk kulitnya yang bertekstur halus mengkilat. Saya memilih untuk melindungi cover paspor saya dengan Lucky Star berwarna coklat tua. Untuk dompet, saya masih menggunakan dompet hadiah istri saya, pas saya berulang tahun 3 tahun yang lalu.

Rupanya Uncle Benny dan rekannya di toko itu, mungkin saudaranya, kurang fasih berbahasa Inggris. Kata-kata yang sering terucap adalah; “this two color..” untuk menunjukkan ragam warna dompet atau tas, atau “no lower..” pas saya mencoba menawar, atau “try this..” untuk menunjukkan pilihan bila dia melihat saya agak bingungu menentukan pilihan dan “OK..” kalau saya sudah deal dengan pilihan dan harga.

Dalam proses saya memilih tas, Uncle Benny menunjukkan kekokohan tas dengan cara menarik-narik beberapa bagian tas, menunjukkan jumlah resluiting di bagian luar dan bagian dalam tas sambil membuka-menutup resluiting tas dan memperagakan bagaimana tas itu harus disandang. Saya memilih empat tas dengan empat warna kesukaan anak-anak saya yang kebetulan semua tersedia di toko itu.

Ketika saya iseng-iseng melihat tas koper berwarna hitam, beroda empat yang berukuran masuk kabin pesawat, Uncle Benny dengan sigap mengambilkan salah satu tas itu dan memperagakan bagaimana tas itu di bawa dengan raut wajah dan gaya berjalan serta gaya berdirinya yang penuh percaya diri menggambarkan seseorang businessman yang sedang menunggu giliran masuk pesawat terbang. Dan dia tetap sigap ketika dia menyadari bahwa saya hanya ingin melihat koper yang dipajang, bukan mau membelinya.

Bab XIV, Panda.

Perjalanan pagi itu saya lanjutkan ke daerah yang lebih masuk lagi dari jalan raya, yaitu pasar tradisional. Rasa penasaran untuk jalan-jalan ke arah pasar tradisional pagi itu, setelah kemarin saya sekilas melihat salah satu lorong deretan blok yang berlawanan arah dengan arah menuju stasiun kereta api ketika turun dari jembatan penyebrangan. Lorong itu terlihat begitu padat penuh dengan pejalan kaki dan rekan saya bilang itu adalah salah satu pasar tradisional di distrik Wan Chai.

Suasana pasar tradisional mirip dengan kebanyakan pasar tradisional di Indonesia, dimana banyak kios-kios penjual daging segar, apakah ikan, ayam, bebek, daging sapi dan daging ngok. Kayaknya daging kambing tidak ada, buktinya direstoran melayu tempat saya menikmati makan malam kemarin tidak ada menu masakan kari kambing atau yang sefamily dengan tongseng-tongsengan.

Begitu juga dengan aneka sayur dan buah-buahan, dengan tulisan harga berupa tulisan cina dan angka nominal yang dicantumkan disetiap wadah dagangan. Proses tawar menawarnya juga terlihat seru dengan tensi suara yang relatif tinggi.

Para pengunjung pasar tradisional itu terlihat berjalan berduyung-duyung dengan kecepatan rendah tidak terburu-buru seperti yang terlihat para pejalan kaki yang sedang berangkat atau pulang kerja. Aturan jalan kedepan di sebelah kanan pun sedikit banyak tetap dipatuhi, dengen frekuensi yang sering berubah-ubah, karena toko ataupun kedai yang bersebrangan hanya dipisahkan jalan selebar empat meter-an. Kredo Kuthuk-Kuthuk tak terdengar disepanjang jalanan pasar tradisional.

Selain bahan-bahan sembako, dipasar ini juga banyak pedagang kaki lima yang berjualan aneka pakaian dewasa dan anak-anak, aksesoris anak muda, aksesoris hape sampai pernik-pernik perhiasan batu giok dalam bentuk kalung, gelang dan anting, yang memenuhi jalanan sehingga pejalan kaki hanya berjalan dijalanan selebar 1-2 meteran. Pasar senggol dalam bahasa cina-nya belum saya ketahui.

Setelah satu blok saya menemukan toko yang menjual aneka cindera mata. Benar-benar tepat arah perjalanan saya di pasar tradisional pagi itu, karena menemukan toko tempat untuk sekedar membeli oleh-oleh buat teman-teman di kantor juga tetangga dan sebagian handai tolan.

Model cindera matanya bermacam-macam, mulai gantungan kunci, lonceng kecil yang digantung di kusen kamar, dompet warna meriah tempat koin, ballpoint berukir naga, piring tembaga bertuliskan Hong Kong yang biasa di pajang dalam lemari etalase di ruang tamu, kaos oblong dan lain sebagainya.

Saya memilih untuk banyak membeli gantungan kunci buat oleh-oleh. Gantungan kuncinya pun tidak sekedar buat menggantung kunci, namun juga berfungsi sebagai gunting kuku, atau pembuka tutup botol. Model gantungan kunci yang bagus dan lucu menurut saya yang bermotif panda. Hanya saja kayaknya model itu eksklusif karena jarang. Mungkin model panda itu yang paling laku, jadinya saya cuman kebagian 3-4 saja.

Pilihan saya untuk memborong gantungan kunci, bukan semata karena harganya yang terjangkau, namun juga sebagai simbol bahwa kunci dalam melakukan perjalanan itu adalah dengan berjalan kaki sebanyak mungkin. Poinnya adalah, kunci untuk menggapai tujuan adalah dengan tekad dan menikmati setiap langkah dalam perjalanan itu sendiri menuju tujuan itu. Mungkin agak berlebihan, menjadikan simbol dan poin itu sebagai alasan bagi saya untuk memborong gantungan kunci. Ya tapi, itulah saya.

Bab XV, Sek Fan ‘a.

Sekitar pukul 1 sore, kami sudah berada di bandara Hong Kong menunggu penerbangan ke Jakarta hari itu pukul 16:15 waktu setempat. Karena check in dibuka dua jam sebelum keberangkatan, maka kami menunggu diruang tunggu terminal 1 bandara internasional itu. Hampir seluruh kursi ruang tempat tunggu tampak penuh diduduki oleh calon penumpang. Kebetulan waktu kami masuk, terdapat beberapa deret kursi kosong di sekitar lorong E.

Bandaranya terkesan adem dan bersih. Langit-langitnya terlihat tinggi menjulang dengan disain atap kaca sehingga siang itu cahaya dari luar terasa masuk ke dalam ruang tunggu. Terdapat hiasan pesawat terbang yang terbuat dari kayu yang memiliki dua sayap dengan tulisan 1910 Farman di bagian ekornya. Hiasan pesawat betulan itu tidak diletakkan di atas lantai, tapi digantungkan dibagian atap lantai 2 bandara itu di terminal 1 sekitar lorong E ruang tunggu.

Beberapa orang yang duduk di belakang dan di samping kanan saya adalah wanita muda yang sedang berbincang dengan rekan-rekannya menggunakan bahasa Jawa. Rupanya mereka adalah tenaga kerja wanita yang bekerja di Hong Kong dan sedang mengantarkan beberapa temannya pulang kampung liburan di tanah air. Yang duduk di sebelah belakang saya berasal dari Lampung, sedang mengantarkan teman kerjanya yang juga saudaranya sendiri yang duduk di sebelahnya. Saya sempat ditawari jeruk kecil yang rasanya manis, sambil kami ngobrol pake bahasa Jawa.

Semakin lama, rombongan tenaga kerja wanita dari Indonesia itu semakin banyak yang datang untuk tujuan yang sama. Sontak suasana di deretan kursi tempat saya duduk mirip stasiun Tugu di Jogjakarta, karena semuanya berbicara menggunakan bahasa Jawa, dengan dialek Jawa Tengah-an.

Seorang wanita yang duduk disebelah kanan saya mungkin terlalu asyik ngobrol dengan rekan-rekannya yang berkumpul di sebelah kanannya lagi. Dia tidak tahu saya baru saja ngobrol dengan rekannya yang duduk di belakang saya. Ketika dia membuka wadah plastik tempat makan siang, dia bilang ke saya; “sek fan ‘a…” sambil senyum mengangguk. Saya mengangguk sambil senyum dan menjawab; “aku yo wong jowo kok mbak, lagi kesasar ndhek kene…”. Dia kaget dan berteriak sambil tertawa; “oalaaahh, bapak iki tiyang jawi to, tak kiro wong cino…wah isin aku…”, disambung tertawa teman-temannya.

“lha njenengan tiyang pundi, mbak ?” tanya saya.

‘kulo saking yogja Pak, niki lagi ndherek-aken rencang kulo wangsul teng semarang’ jawabnya sambil melanjutkan membuka wadah makan siang berisi nasi dan sayur cap jay aroma Indonesia.

“lha mau sing diomongne neg aku opo kuwi, sing boso cino mau ?” tanya saya lagi tentang sapaan awalnya tadi.

‘wooo…niku sek fan ‘a, Pak… ‘

“piye ngeja-ne ?”

‘es, e, ka, ef, a, en …’

“artine opo iku ?”

‘artinipun nggih mari makan, Pak’

“lha sing ‘a mburine artine opo, mbak ?” tanya saya lagi ndedhes.

‘woo.. niku cuman penekanan menawi ngendhikan, kok Pak’ jawabnya sambil menyarungkan sarung tangan plastik karena dia akan makan siang menggunakan tangan bukan sendok.

Sambil menikmati makan siangnya, dia bercerita kalau dia sudah kerasan bekerja sebagai tenaga kerja wanita di Hong Kong. Sudah tujuh tahunan dia bekerja di daerah Kow Loon dengan majikan yang sama selama itu. Dia juga bercerita selama bekerja belum pernah ada berita tentang pengalaman pahit para tenaga kerja wanita Indonesia di Hong Kong seperti yang dialami tenaga kerja wanita yang bekerja di negara lain sebagaimana dia pernah dengar dari berita ataupun dari teman-temannya. Disini hukum dan ham benar-benar ditegakkan, katanya.

Bab XVI, Berantem Di Bandara Dan Palang Merah.

Obrolan kami terputus, karena mendengar teriakan yang berasal dari sekitar lorong C. Saya melihat beberapa petugas bandara terlihat buru-buru mendatangi tempat asalnya teriakan itu. Tidak lama kemudian tampak seorang wanita berusia pertengahan 40-an, berambut panjang agak kriting mengenakan bando, kaos lengan panjang bercelana jeans, berjalan agak cepat menuju ke daerah lorong E, tempat kami duduk. Mukanya agak masam. Disusul wanita kedua yang juga berjalan cepat di belakangnya berusia setara dengan wanita tadi, tapi porsi tubuhnya lebih tinggi dan berambut lurus pendek, mengenakan baju lengan panjang berwarna coklat bercelana bukan jeans, warna hitam. Sama-sama pasang muka cemberut.

Benar, tak lama kemudian saya mendengar suara ribut menggunakan bahasa cina dengan tensi suara tinggi dan cepat dari arah belakang saya duduk, di dereten tempat duduk selang 3 baris dari saya duduk. Saya menoleh dan melihat, wanita yang berambut panjang agak keriting –biar mudah sebut saja F#1 / Female#1- itu berbicara marah-marah sambil menunjuk-nunjukkan tangan kanannya ke arah wanita yang berambut pendek –sebut saja F#2 / Female#2-. F#2 juga menjawab setiap perkataan F#1, sambil melapangkan kedua tangannya yang sejurus kemudian melipat kedua tangannya di dada sambil membuang muka. Nada suaranya juga tinggi, tapi tidak setinggi suara F#1.

Wah, ini kayaknya masalah salah tanggal penerbangan, pikir saya. Mungkin F#2 adalah orang yang tadinya dipercaya membeli tiket pesawat tujuan tertentu, tapi ternyata jadwalnya keliru. Kesimpulan awal saya, sebenarnya F#2 dan F#1 ini keduanya adalah teman bahkan kerabat yang satu rombongan bersama keluarga menuju kota atau negara tertentu.

Saya melihat, F#2 bolak-balik berjalan ke arah lorong C, dengan mimik wajah yang kurang nyaman. Tidak lama kemudian, saya melihat F#2 berjalan balik ke arah lorong E, tempat teman-temannya menunggu dengan buru-buru dan wajah lebih masam. Dari belakang dia diikuti oleh seorang wanita yang bukan F#1, berusia lebih tua dari F#1 dan F#2, kurang lebih sama tingginya dengan F#2, berambut pendek dan keriwil dengan wajah kurang nyaman seolah memburu F#2.

“…cing cung cing cang tung ting tang ting cang cing cung….” kembali bergema dari arah belakang saya duduk. Saya menoleh lagi dan ternyata F#2 dikeroyok adu mulutnya dengan F#1 dan wanita berambut keriwil – sebut saja F#3 -. Posisi gaya berdebatnya masih sama, yaitu menunjuk-nunjuk kearah wajah F#2 dan F#2 tetap mempertahankan gaya berdebat yang sama, yaitu sesekali melapangkan kedua tangannya dan sejurus kemudian melipatnya dan membuang muka. Wajahnya tetap berusaha ditunjukkan bahwa dia tidak bersalah.

F#2 kembali menuju lorong C, mungkin sedang melakukan negosiasi atau meminta konfirmasi waiting list dari pengelola penerbangan di bandara itu. Tak lama kemudian dia kembali menuju ke tempat teman-temannya menunggu di lorong E. Suara ribut-ribut kembali bersimphony. Kali ini ada tensi suara bass agak bariton yang berasal dari suara pria berusia setara dengan F#3, berbaju kaos oblong hitam berambut putih, tingginya setara dengan F#3. Lengkaplah sudah symphony berantem di bandara sore itu, karena berisikan tipe suara sopran, alto dan bass.

Rupanya ada pria dalam rombongan itu yang mencoba menengahi pertengkaran itu. Pria ini berusia setara dengan F#1, menggunakan kaos oblong warna kuning, porsi tubuhnya lebih pendek sedikit dari F#1 rambutnya cenderung gundul dengan tanda lahir yang ada di kulit di bagian kedua matanya. Pria ini akhirnya mengantar F#2 dan F#1 kembali menuju ke lorong C. Saya tidak tahu kelanjutannya bagaimana, tapi saya sempat melihat F#2 mengusap hidungnya menggunakan tisu. Mungkin dia hampir menangis atau mbrebes mili dihadapkan situasi sulit seperti itu.

Kembali saya melihat papan elektronik yang mengumumkan jadwal check in dari penerbangan yang akan kami tumpangi. Masih 15-an menit lagi check in dibuka, saya pun siap-siap mengemas barang bawaan saya menuju ke lorong check in. Waktu check ini sedapat mungkin lebih awal di bandara ini, karena prosedur pemeriksaannya yang ketat, sebanyak 4 kali pemeriksaan yaitu mengantri di bagian pintu masuk pertama , di bagian imigrasi, di bagian pintu masuk kedua dan ketika boarding.

Sambil menunggu rekan mengemasi barang menuju check in, lamat-lamat saya mendengar pembicaraan tenaga kerja wanita yang juga masih menunggu check in, seperti ini;

‘kowe ‘i rugi sak jan ne muleh saiki, wong arep ketemu bojo kok yo lagi palang merah…’

“halah ora, wong palang merah ku wes rampung ndek ingi, saiki wes resik ‘o ‘e…”

Ungkapan ‘o ‘e ini agak sukar digambarkan melalui tulisan, kecuali pembaca pernah mendengarkan dialeknya terutama di wilayah pengguna penekanan berucap ‘o ‘e di poros Madiun sampe Sala.

Bab XVII, 30 Derajat.

Suasana ruang tunggu sebelum boarding di bandara ini didisain agar para calon penumpang akan betah dan tidak terasa menunggu hingga waktu boarding tiba. Setidaknya dari ruang yang dirancang lapang, cukup cahaya, bersih dan adem. Calon penumpang juga dibawa pada suasana bukan bandara namun di mall dengan pemandangan store-store yang memajang barang dagangan bermerk internasional seperti parfum, arloji, pakaian, tas, jeans, note book, handphone dengan harga yang relatif sama dengan harga di luar bandara dan tempat menikmati makan beraneka pilihan.

Di ruang tunggu boarding ada store yang khusus menjual produk minuman liquior dan rokok putih bebas bea. Berbagai produk minuman seperti Chivas Regal, Jhony Walker, Vodka, Dry Gin dan lain-lain yang dipersepsikan sebagai minuman keras berharga mahal, di store itu dijual berkisar 100 HKD sampai yang paling mahal 450 HKD atau setara 100 ribu – 450 ribu rupiah perbotol ukuran ½ - 1 ½ liter. Ada juga kemasan 200 mili seharga 40 HKD atau sekitar 40-an ribu rupiah. Dan semuanya original genuine, bukan liquior kelas KW. Karena saya bukan peminum, ya saya nggak beli. Hanya melihat-lihat saja.

Waktu boarding tiba, kami masuk ke pesawat dan menemukan suasana yang sudah Ngindonesia. Pesawat meninggalkan landasan bandara Hong Kong sekitar 16:25 waktu setempat. Kami meninggalkan Hong Kong dengan banyak pengalaman dan kenangan. Yang jelas, urusan pekerjaan siap menanti di Jakarta sejalan tujuan utama kami selama berada di Hong Kong adalah untuk keperluan bertemu dengan pelanggan untuk mendapatkan umpan balik yang akan kami tangani dengan serius. Perihal jalan-jalannya, itu sekedar aksesoris.

Kami pun tiba di Jakarta setelah empat jam-an berjalan di atas awan. Jaket yang selama perjalanan saya kenakan, saya lepas ketika keluar dari pintu bandara, karena suhu berkisar 30-an derajat selsius dimalam hari sehabis hujan. Suhu atmosfer yang tidak asing lagi bagi saya.

Saya melangkah ringan menuju ke taksi yang akan mengantar saya ke rumah tempat anak dan istri saya menunggu dalam kehangatan. Selama perjalanan dalam taksi, saya membayangkan bahwa semua oleh-oleh yang saya bawa akan dapat diterima dan digunakan sebaiknya. Dan saya waktu itu juga membayangkan bahwa cepat atau lambat, tulisan ini akan saya buat.

Anton Joedijanto,

Jakarta, 25 Desember 2011.

Hantu Menara Saidah.

Kalo film hantu-hantuan nasional masih laku, maka saya mau bikin filem judulnya; Hantu Menara Saidah.


Begini alur ceritanya;


'Seorang profesional muda bernama Kromo (bukan nama sebenarnya), setiap petang melintas pulang kantor naik motor racing 150 cc melewati gedung Menara Saidah yang tidak berpenghuni itu.


Pada suatu petang habis maghrib, pas hari Jum'at (bukan hari sebenarnya), ketika kondisi jalanan macet disamping gedung itu, tak sengaja Kromo menengadah melihat cuaca langit dan lamat-lamat melihat ada bayangan di lantai 14-an gedung itu. Bayangan sesosok manusia yang seolah memperhatikan jalan raya yang macet.


Aneh pikirnya, karena dari seluruh lantai yang gelap, hanya di lantai itu yang terlihat bayangan jelas dengan cahaya temaram. Kromo pun tidak bisa tidur semalaman memikirkan bayangan itu.


Besok paginya, hari Sabtu (ini hari sebenarnya), Kromo nekat masuk ke gedung itu dan naik ke lantai 14-an lewat tangga. Karena gedungnya tidak terawat, maka banyak debu dan dokumen yang berserakan juga berbau apek.


Karena masih pagi, dia tidak menemukan jejak apapun di dalam ruangan yang dia yakin malam kemarin melihat bayangan itu. Mungkin bayangan ini munculnya pas petang hari. 'Ya sudah' pikirnya, dia menunggu sampai petang hanya berbekal sebungkus ting-ting jahe kesukaannya pemberian anak ibu kosnya yang bernama Sukesi (nama fiksi). 'Mau turun juga 14-an lantai, nanggung dari pada tambah ngos2-an', pikirnya lagi.


Detik demi detik berlalu, menit demi menit terlewat dan jam demi jam menjelang, maka petang pun mulai terasa dengan suasana aneh yang membuat berdiri bulu roma (Kromo sudah ditumbuhi banyak bulu karena umurnya 25-an taun).


Seiring dengan hembusan angin dingin yang aneh (AC dalam gedung gak nyala), mendadak Kromo dihadapkan dengan sosok yang mengerikan, mengambang, rambutnya gimbal, matanya memandang kosong, wajahnya miring memandang ke atas dan tangannya kering mengarah ke depan agak kebawah dengan jari jemari mencengkeram. Penuh debu pada tubuhnya yang berbalut kain kusam lusuh putih keabuan agak kuning sedikit kecoklatan dengan bintik-bintik kayak jamur di dalamnya, mulutnya mengaga tapi kayaknya giginya nggak utuh.


Sempat Kromo kaget tak alang kepalang, melonjak sambil berteriak '..eeE Jaran !'...(walaupun profesional muda bergaji Jakarta-an, tapi tetep dia ini orang urban dengan ungkapan kaget yang khas radha2 kampungan). Tapi Kromo memang tipe orang muda yang menanggung risiko demi keingin tahuan. Dia tak akan lama-lama kaget dan takut.


Setelah menata hatinya, butuh waktu yang agak lama untuk memulai bercengkerama dengan bayangan itu. Tapi hingga malam, dia tak berhasil. Bayangan itu tetap dalam posisi aneh tersebut di atas, nggak berubah. 'Mungkin dulunya ini orangnya yang teguh pendirian' pikir Kromo.


Karena sudah larut malam dan hanya makan permen jahe seharian, Kromo pun turun pulang meninggalkan bayangan itu sendirian dalam gedung ini. Tapi tetep, bayangan itu mengganggu pikiran Kromo.


Besoknya menjelang petang (sudah pasti hari Minggu), Kromo datang lagi. Nggak usah nunggu kaget, bayangan itu dengan posisi yang sama dia temui saat pertama kali. Kromo pun berkata dalam hati bahwa dia ingin tahu apakah bayangan itu sendirian dan mengapa tinggal di dalam gedung ini (banyak adegan tanpa dialog dalam film ini).


Rupanya bayangan itu, tau persis apa isi hati Kromo. Mendadak cahaya dalam ruangan berubah, sontak memancar cahaya dari mata bayangan itu yang menatap ke atas, ke plafon yang berwarna putih kusam.


Rupanya cahaya itu berisikan rangkaian gambar penjelasan bayangan itu, perihal pertanyaan-pertanyaan Kromo. Setiap dalam hati bertanya, bayangan itu menjelaskannya bak cerita film.


Karena rangkaian gambar bak film liwat LCD mengarah ke plafon, Kromo pun harus memosisikan dirinya tiduran menghadap ke plafon. Untung dia membawa bekal kripik gadung dan air mineral pemberian Sukesi (anak ibu kos ini naksir Kromo tapi bertepuk sebelah tangan).


Penonton film ini pun akhirnya melihat film dalam film, tapi film dalam film ini suasananya aneh, lebih surealis, kelam, mistis dan tidak beraturan tapi mengisahkan sesuatu yag runtut (kapok, bingung khan ?).


Bayangan itu ‘bercerita’ tentang dirinya, asal usulnya, kisah hidup dan cintanya hingga bagaimana dia mati (tetep tanpa dialog, hanya musik dan karakter wajah tokoh-tokohnya. Musiknya juga jarang dan bilamana perlu). Kisahnya pun bukan puluhan tahun belakangan, tapi ratusan tahun lampau dengan setting kerajaan Parahyangan dengan kehidupan sosialnya, dengan latar belakang alam yang elok sebelum tercemar lingkungan.


Sekali-kali Kromo melihat mimik wajah bayangan itu. Masih tetap sama dengan posisi wajah semula, nggak keliatan capek melotot dan menganga juga mengambang seperti itu. ‘Dasar hantu’ pikir Kromo.


Saat pikiran Kromo bertanya, mengapa kamu betah di gedung ini, sontak alur gambar berubah ke masa kini. Ya masa-masa ketika bayangan itu sengaja memilih Kromo untuk bertemu dengannya. Rupanya bayangan itu tau persis orang muda yang dipilihnya untuk menitipkan pesan itu adalah seorang Kromo. Sosok muda dinamis, wajah biasa bernilai 65-an dari skala 0-100, postur seimbang tapi tangan agak kepanjangan dikit, suka ngebut tapi patuh berlalu lintas, berpakaian kasual, celana denim dan bersepatu Dr. Martens.


Rupanya (lagi-lagi kok Rupanya, mbok sekali-kali Rupamu), dalam pesan film bayangan selanjutnya, Kromo mendapatkan gambaran akan ada percobaan pembunuhan salah seorang pemimpin negara pas berkunjung di Indonesia dalam rangka pertemuan bilateral internasional di pulau Bali.


‘Darimana hantu ini tahu akan ada peristiwa ini ?’ tanya Kromo tanpa terucap. Bayangan itu pun menjawab liwat pantulan sorot matanya, mengapa dia tahu akan hal ini, karena dia selama ini menghuni di lantai tinggi, jadi tahu apa-apa saja yang dipikirkan banyak orang di bawah sana.


Sepulang dari pertemuannya yang ketiga (termasuk saat melihat pertama hari Jum’at itu/bukan hari yang sebenarnya lho ya), pikiran Kromo berkecamuk, ada pergulatan hati di dalamnya (jelas tanpa dialog cuman musik / prog rock dan karakter wajah yang mendukung / ada keringat dingin yang menetes-netes); apakah dia yang diberikan petunjuk untuk menyelamatkan pemimpin negara itu seorang diri ? Karena tidak aka nada satu orang pun yang percaya, termasuk Sukesi yang saat Minggu malam itu memikirkan sarapan apa yang dibuat untuk bekal pujaannya; mas Kromo, besok hari.


Dia membaca beberapa koran dan majalah dan ternyata acara itu akan berlangsung 2 hari lagi (janji lho ya, ini tetep bukan kisah sebenarnya).


Singkat cerita, Kromo pun terlibat dalam rangkaian kisah aksi thriller suspense spionase untuk menyelamatkan seorang pemimpin negara seorang diri dan berhasil (biar penonton nggak kecewa, gitu).


Dan pada sesi kisah petualangan itu, Kromo berkenalan dengan seorang wartawati cantik yang juga memiliki intuisi yang sama. Orangnya memang cantik, menarik, charming, cerdas, seusiaan dengan Kromo. Cuman namanya yang nggak nahan; Mrawani…. byuh.


Alur cerita pun berganti dengan pergolakan batin yang dialami oleh Kromo, antara memilih Mrawani atau Sukesi yang bagaimanapun levelnya agak dibawah Mrawani, tapi Sukesi yang perhatian terhadap Kromo selama ini.


Ya, Sukesi itu tipe wanita yang agak tertutup dan cenderung muram. Istilahnya Sukesi itu bak komposisi gubahan Bethoveen, kalo Mrawani itu bak gubahannya Vivaldi…. (pada awal perkenalan kedua tokoh ini, dilatar belakangi irama music komposisi kedua composer itu).


Bagaimana kisah akhirnya ?.... Kromo akan berkrama dengan Sukesi atau Mrawani ? … atau keduanya ? (kemaruk)


Yang jelas, Kromo mendapatkan imbalan atas keberhasilannya menyelamatkan pemimpin negara dengan direnovasinya Menara Saidah dan tetap memberikan salah satu di ruang di lantai 14 sebagai tempat tinggal hantu itu, tanpa dirubah sekalipun, termasuk debu-debunya.


Dan hantunya tetep berposisi seperti sedia kala. Kalangan manufaktur boneka pun berlomba-lomba untuk mendapatkan ijin membuat miniatur potret hantu itu sebagai model mainan anak-anak, karena wajahnya yang menakutkan tapi nggak menakutkan (gimana ya, saya juga bingung nulisnya). Cool gitu.


Dan Kromo pun bercita-cita kelak untuk melangsungkan pernikahannya dengan satu diantara kedua gadis itu di Menara Saidah, tapi malam pertamanya jelas bukan di ruangan hantu itu.'


TAMAT


(Lengkap khan ceritanya, mulai horror, sejarah, suspense, spionase, drama percintaan, adegan hot yang nggak perlu disensor karena nggak terlalu hot)