Selasa, Desember 22, 2009

Avatar; ketika manusia menjadi alien bagi peradaban Pandora.


Barangkali pernah diantara kita yang membayangkan bahwa ketika bumi tidak mampu lagi berfungsi sebagai tempat hunian yang layak bagi mahluk hidup di dalamnya, maka pada suatu saat nanti manusia melakukan upaya kolonisasi pada suatu planet baru yang mirip dengan bumi beserta kondisi alam dan peradaban makhluk hidup di dalamnya.

Bagaimana manusia nanti menerapkan teknologinya untuk dapat berinteraksi dengan peradaban baru, keanekaragaman makhluk apa saja yang dipelajari dan kekayaan alam apa saja yang berbeda dengan bumi dalam planet baru itu, juga konflik apa saja yang terjadi ketika perbedaan kepentingan antara manusia dengan sekumpulan makluk hidup yang mendominasi budaya di planet itu, merupakan intisari cerita dalam film yang digarap oleh sutradara spesialis film-film fiksi ilmiah; James Cameron.

Diceritakan, pada tahun 2154, ketika bumi mengalami kerusakan lingkungan dan sumber daya alamnya sehingga tidak memungkinkan dihuni lebih lama lagi, maka sebuah perusahaan raksasa bernama SecFor melakukan upaya kolonisasi manusia pada sebuah planet yang bernama Pandora. Planet ini sebenarnya merupakan satelit yang mengelilingi planet gas raksasa yang bernama Polyphermus, salah satu dari tiga planet gas raksasa yang mengorbit pada bintang Alpha Centaury A yang berjarak 4,4 tahun cahaya dari bumi (atau sekitar 4 kali 10 pangkat tigabelas kilometer dari bumi).

Kondisi lingkungan, kekayaan alam dan keanekaragaman makhluk hidup di planet Pandora ini sangat mirip dengan yang ada dibumi dalam kondisinya yang masih asli, jutaan tahun yang lalu. Terdapat suatu peradaban yang didominasi suatu bangsa yang bernama Na’vi. Bangsa ini mendominasi budaya di planet Pandora, atau dengan kata lain jika di bumi mereka adalah manusia.

Secara fisik, Na’vi hampir mirip dengan manusia, namun memiliki tinggi sekitar 4 meter, berwarna kulit yang memancarkan sinar kebiruan dan memiliki ekor yang berujung sekumpulan sensor syaraf untuk mengendalikan kendaraan alami yang sejiwa dengan mereka yaitu; pali (seperti kuda yang berkaki enam) ataupun ikran (digambarkan sebagai burung raksasa yang lincah dan gesit ketika terbang).

Namun karena atmosfir udara di planet Pandora tidak memungkinkan bagi manusia untuk hidup di sana, maka sekumpulan ilmuwan yang dipimpin oleh Dr. Grace Augustine (Sigourney Weaver) menerapkan teknologi program Avatar, dimana manusia dapat ber-inkarnasi dalam tubuh Na’vi, agar dapat berinteraksi dan mempelajari budaya peradaban dan kekayaan alam di Pandora.

Seorang mantan marinir Amerika Serikat yang mengalami kelumpuhan kaki akibat bertugas perang di bumi bernama Jake Sully (Sam Worthington) berminat untuk menjadi sukarelawan dalam program Avatar itu untuk menemani Dr. Grace dan Norm Spellman (Joel David Moore), seorang biolog. Jake berminat menjadi sukarelawan, karena ingin melanjutkan misi saudara kembarnya yang tewas dalam program yang sama.

Ketiga sukarelawan masing-masing ber-inkarnasi dalam tubuh Na’vi hasil tekhnologi kloning atas DNA Na’vi dengan manusia. Sementara pikiran dan jiwa mereka mengendalikan tubuh dan fisik Na’vi itu, tubuh mereka sendiri ditidurkan dalam sebuah kabin yang berfungsi menjadi penyerantara program Avatar itu sendiri.

Dalam misinya ber-inkarnasi sebagai makhluk Na’vi, Jake bertemu dengan Na’vi bernama Neytiri (Zoe Saldana) yang merupakan anak perempuan dari Eytucan (Wes Studi), seorang raja Na’vi dari klan Omaticaya.

Pada awalnya Jake hanya mengawal Dr. Grace dan Norm untuk mempelajari budaya dan kelimpahan alam Pandora, ketika mereka ber-inkarnasi menjadi Na’vi. Namun ternyata Jake justru lebih tertarik untuk mempelajari bagaimana bangsa Na’vi bisa berperikehidupan sangat bijaksana dengan alam dan menyadari bagaimana bangsa ini berperilaku sangat menghormati alam dan mampu hidup menyatu dengan keanekaragaman makluk lainnya di Pandora.

Konflik mulai terjadi ketika Parker Selfridge (Giovanni Rabisi) salah satu wakil SecFor menyampaikan misi sebenarnya kolonisasi Pandora yaitu eksploitasi bahan mineral yang tidak terdapat di bumi yang bernama Ubtonium. Bahan mineral ini akan ditambang karena memiliki sifat yang unik yaitu bisa diolah menjadi bahan antigravitasi, guna dijadikan senjata bagi manusia.

Misi ini juga mendapat dukungan dari Kolonel Miles Quatrich (Stephen Lang), dengan dibekali personil tentara bayaran yang terlatih dan persenjataan yang diperhitungkan mampu meredam konflik dengan bangsa Na’vi, jika terjadi.

Mengetahui misi kolonisasi Pandora hanya sekedar mengeksploitasi Ubtonium, Dr. Grace berusaha mencegah misi itu untuk dilanjutkan. Dia berusaha menyadarkan pimpinan SecFor bahwa Ubtonium di planet Pandora terdeposit di bawah sebuah pohon yang sangat mempengaruhi budaya dan dihormati oleh bangsa Na’vi, yaitu; Kelutrel.

Pohon Kelutrel itu memiliki kemampuan untuk mengubungkan jiwa bangsa Na’vi ke dewa mereka yang bernama Eyowa, melalui ritual-ritual alami mereka. Sehingga apabila pohon ini ditumbangkan demi dapat menambang Ubtonium, maka dikhawatirkan bangsa Na’vi dapat punah karena tidak dapat melawan manusia yang memiliki kemampuan berperang lebih tinggi dan bersenjata lengkap.

Merasa yakin atas kemampuan berperang yang dimiliki dan ambisi untuk dapat mengekploitasi besar-besaran Ubtonium, maka Parker memerintahkan Kol. Miles untuk menjalankan misi awal yaitu menginvasi wilayah dimana pohon Kelutrel itu berada dan segera melakukan eksplotasi Ubtonium.

Menyadari bahwa bangsa Na’vi tidak memiliki pengalaman dan kemampuan berperang dengan manusia dan persenjatannya, juga karena sudah terpesona dengan budaya bangsa Na’vi dan alamnya, maka Jake berbalik memihak pada bangsa Na’vi. Jake dibantu dengan Neytiri dan Eytucan berhasil mengumpulkan klan-klan lainnya dari bangsa Na’vi untuk bersatu melawan invasi manusia atas Pandora.

Dan peperangan antara manusia dan bangsa Na’vi pun dimulai, manusia dengan persenjataan pemusnah massal dan teknologi buatannya melawan Na’vi yang menggunakan kekuatan alam.

Peperangan antara sekumpulan manusia yang ingin menguasai suatu peradaban dengan merusak alam lingkungan dan budayanya, melawan suatu bangsa yang mempertahankan agar alam dan kekayaannya tetap berada seperti apa adanya.
Film yang berdurasi 2 jam 45 menit ini mampu mengajak penikmatnya untuk berimajinasi diluar batas alam dimana biasa dilihat di bumi. Pemandangan yang aneh namun indah seperti flora dan fauna yang di bumi ada, namun digambarkan sangat berlainan ketika berada di alam Pandora.

Penggambaran hutan yang melayang di udara, merupakan imajinasi yang liar yang melatarbelakangi keinginan manusia untuk mengeksploitasi Ubtonium dalam cerita film ini.

Pemandangan itu seperti hendak mengajak penikmatnya untuk berimajinasi tentang adanya semesta pararel, dimana terdapat semesta yang lain dengan semesta dimana bumi berada dan terdapat makhluk hidup di dalamya yang mirip dengan manusia (juga makhluk hidup lainnya) dan alam lingkungannya yang seperti di bumi, namun tidak sepenuhnya sama.

Bagi anda penyuka lukisan-lukisan Roger Dean, akan menikmati penggambaran alam yang ada dalam lukisan-lukisannya, direalisasikan dalam format film dengan visual effect yang prima.

Avatar sendiri berasal dari bahasa sansekerta Avataraa, yang kurang lebih berarti ber-inkarnasi, sebagaimana plot cerita dimana manusia mampu berinteraksi dengan bangsa Na’vi dengan cara pikiran dan jiwanya mengendalikan tubuh makhluk Na’vi hasil kloning-nya dengan manusia, sementara tubuh mereka sendiri ditidurkan dalam sebuah kapsul penyerantara.

James Cameron yang pernah sukses menggarap film-film fiksi ilmiah spektakuler seperti; Terminator, Terminator-Judgment Day, The Abyss dan Titanic, berhasil menggabungkan beberapa imajinasi seperti; semesta pararel, invasi makhluk cerdas atas sebuah peradaban, terdapatnya peradaban selain di bumi, punahnya suku bangsa asli di Amerika selatan akibat invasi salah satu bangsa Eropa di abad 14-an, hingga khayalan bahwa suatu saat nanti manusia mampu merekayasa teknologi untuk menghidupkan, menggerakkan dan memperikehidupkan suatu tubuh organik lainnya hanya dengan pikiran, sementara tubuhnya sendiri berada di tempat yang lain.

Juga mungkin sang sutradara hendak mengajak penikmat film ini untuk membayangkan bahwa missing link atas evolusi manusia di bumi, terjadi mungkin karena adanya ‘kekuatan’ lain yang kemudian ‘mendadak’ merubah kondisi fisik primata yang berekor panjang menjadi makhluk hidup yang tidak memiliki ekor, cerdas dan bisa berperang, yang bernama manusia.

Kesemua imajinasi liar tersebut dikemas sedemikian memikat dengan menghasilkan moral cerita yang menarik, yaitu; berperikehidupan menyatu dengan alam di tempat itu, niscaya tiada tempat lain yang perlu dicari.

Bagi penyuka film-film fiksi ilmiah yang bersifat epic, seperti trilogy Lord of The Ring, sixth logy Star Wars, juga Star Trek, maka film ini menjadi semacam tontonan wajib. Dinikmati di studio yang menyediakan fasilitas 3 Dimensi / 3 D akan lebih baik, karena film ini dirancang visual effect-nya untuk memenuhi efek 3 Dimensi.

Namun untuk studio 3 D, tidak tersedia teks terjemahannya. Jangan khawatir, karena saya bersedia untuk diajak/ditraktir nonton lagi demi untuk menerjemahkan jalan cerita film itu kepada anda-anda semua, jika berminat.

Selamat menikmati film spektakuler ini, kiranya momennya pas dengan musim libur.

Mudah-mudahan setelah menikmati film ini kesimpulannya tidak menjadi seperti ini; ternyata manusia ketika masih menjadi manusia di bumi ataupun ketika menjadi alien di peradaban lain, kebanyakan nafsu-nya tetap sama, yaitu; merusak lingkungan dan menganggap enteng kebijakan alam…. wah.

Jakarta, 20 Desember 2009.

Salam,
Anton Joedijanto.