Rabu, Maret 04, 2015

Perjalanan Para Leluhur


Ratusan bahkan mungkin ribuan tahun lalu para leluhur/nenek moyang, dari tanah asalnya di Asia Selatan - Indochina mengembara mulai Sumatera ke Jawa kemudian menyebar ke Kalimantan, Sulawesi, Bali. Tidak sampai ke wilayah timur karena terhadang oleh lautan Arafura, laut yang sebenarnya di kawasan timur Nusantara.

Dalam pengembaraannya mereka berkelompok, berasimilasi dengan pribumi yang murni keturunan Phytecantropus Wajakensis membentuk suatu komunitas untuk bertahan di alam yang benar-benar masih asli nan elok rupawan.

Jika sudah dirasa cukup komunitas dan peradabannya, mereka melanjutkan lagi pengembaraannya membuka jalan baru di antara rimbunan pepohonan hutan tropis yang lebat dan serangan hewan-hewan liar di sana-sini, sambil berjalan kaki atau naik kuda atau naik kereta kuda atau ditandu dengan sesekali meninggalkan beberapa prasasti bukti napak tilasnya, untuk kemudian membentuk peradaban baru di wilayah yang masih asing, liar namun penuh harapan.

Tidak ada tenggat waktu dan target pencapaian waktu itu. Hanya berjalan-berjalan dan berjalan, berkenalan dengan spesies sekerabat yang baru dikenalnya, bersosialisasi, berasimilasi, beranakpinak dan bisa melanjutkan hidup di tanah baru.

Puluhan hingga ratusan tahun kemudian komunitas-komunitas itu semakin besar, beradab, memiliki keunikan budaya dan persamaan pandangan hingga mampu membentuk sistem pemerintahan (penguasa dan rakyat) berupa kerajaan-kerajaan.

Menurut catatan sejarah, konon kerajaan pertama adalah Syiwa yang dipimpin Putri Sima pada abad 6 masehi. Suatu kerajaan, pasti akan memiliki suatu sistem pemerintahan dan sosial-budaya yang ditunjang oleh sarana fisik yang dibangun dengan menerapkan teknologi tertentu. Sebagai jejak peradaban yang paling awet hingga kini adalah candi-candi.

Jika memang demikian, maka pengembaraan dari tanah asal para leluhur bisa jadi dimulai sejak 4-5 abad sebelum masehi atau 1000-an tahun sebelum kerajaan pertama berdiri, dengan perkiraan tahapan proses peradabannya mulai dari;

-  beradaptasi dengan alamnya dan bertahan,
-  menentukan wilayah tetap,
-  bersosialisasi dan asimilasi dengan kelompok aseli,
-  menggarap tanah sebagai sumber pangan/papan,
-  berkoloni dan beranak pinak,
-  membuat kesepakatan sistem sosial,
-  menunjuk pemimpin kelompok maupun sub-sub kelompok,
-  menyepakati sistem pemerintahan sederhana; ada yang merintah dan ada yang diperintah,
-  hingga saling berbagi pengetahuan untuk menerapkan ilmu dan teknologi tertentu agar komunitas menjadi semakin mapan. 

Bisa jadi, komunitas itu pernah mengirimkan perwakilannya untuk belajar ilmu dan teknologi di tanah asalnya, yang relatif lebih maju peradabannya. Misal; untuk bangun candi ataupun sarana/infrastruktur yang dibutuhkan.

Dalam perjalanannya, ratusan tahun kemudian proses alami memperadabkan tanah baru itu memunculkan kerajaan-kerajaan baru, yang dalam perkembangannya pula, atas sifat dasar manusia yang suka bersaing, mereka pun lantas harus bersaing untuk menunjukkan wilayah yang dikuasainya, yang sudah kadung menjadi suatu peradaban yang unik dan khas, melalui proses pembangunan budaya ratusan tahun lamanya, yang selanjutnya menjadi suatu kedaulatan yang harus dipertahankan.

Persaingan antar kerajaan atas sifat mendasar manusia itu pun dimulai, seolah melupakan sejarah pengembaraan leluhurnya dari tanah asal yang sama dan merupakan keturunan yang sama, setidaknya, antara kelompok pengembara yang phytecantropus asia selatan dengan phytecantropus wajakensis tadi.

Roda sejarah pun terus berputar menuju babak pengaruh budaya baru yang menjadikan wilayah ini semakin banyak mendapatkan pengaruh dari penjuru bangsa-bangsa pionir = asia tengah dan eropa.

Katakanlah pengaruh budaya asia tengah mulai abad 10 masehi dan pengaruh budaya eropa pada 17 masehi. Kiranya pengaruh kebudayaannya relatif muda untuk merubah dominasi budaya yang sudah ter-kharakteristik dan mengakar kuat atas hasil proses peradaban dari Asia Selatan-Indochina yang relatif jauh lebih lama dan jauh lebih dramatis.

Ibaratnya pengaruh budaya Asia Tengah dan Eropa itu instan.

Sedang pengaruh budaya dari asia selatan dan indochina itu mendarah daging. Mungkin juga ditunjang dengan kondisi alamnya yang sama-sama di kawasan tropis. Tapi –menurut saya-; tempaan proses membuka peradaban baru di tanah air yang masih asli, dalam kurun waktu ribuan tahun, akan berpengaruh menjadi faktor genetik yang menghasilkan kharakter yang unik yang selaras dengan kondisi alam sebagaimana pernah menghidupi para leluhurnya.

Jadi, jika menyadari jati diri dari kebanyakan yang hidup saat ini di negeri ini adalah para pengembara tangguh dari bangsa yang berhasil menjadikan suatu peradaban dan kebudayaan yang unik sejak tiga ribuan tahun lalu, mengapa kita-kita ini begitu senang mencoba mempelajari kebudayaan dari bangsa-bangsa yang belum sempat menempa jati diri yang mengakar kuat ?

Banyak hal; mulai seni, budaya, politik, ilmu pengetahuan, teknologi hingga agama. Hampir semuanya dipelajari, ditiru dan diterapkan –bahkan sedikit memaksa- dari bangsa-bangsa yang memberikan pengaruh budaya instan itu. Sementara ada semacam kata bathin dari dalam yang meronta bilang;

 “…itu bukan kharakter unik kami. Para leluhur dan nenek moyang kami, atas tempaan hasil pengembaraan tangguh ribuan tahun silam bukan begitu kharakternya…yang dipelajari, ditiru dan diterapkan itu, baru ratusan tahun kemarin…” 

Alhasil, hal-hal yang dicoba pahami namun kurang sesuai dengan jati diri itu, hanyalah menjadi butiran air di atas daun. Tidak meresap sebagaimana butiran air di atas bumi.

Bisa dipelajari, ditiru dan diterapkan namun tidak seimbang dengan kharakter alami.

Sama seperti manusia secara individu, suatu bangsa akan menjadi matang jika sudah memahami dan memaklumi jati dirinya.
 
Terlambat ? mungkin iya.

Tapi coba renungkan betapa tangguhnya para leluhur ketika mencoba mengisi kehidupan di tanah air baru ribuan lahun lalu, yang mengguratkan jati diri yang membekas sampai kini. Tanpa sekalipun berucap; ‘Terlambat’…

Tanjung Redeb, 3 Maret 2015.