Ratusan bahkan mungkin ribuan tahun lalu para leluhur/nenek
moyang, dari tanah asalnya di Asia Selatan - Indochina mengembara mulai Sumatera
ke Jawa kemudian menyebar ke Kalimantan, Sulawesi, Bali. Tidak sampai ke
wilayah timur karena terhadang oleh lautan Arafura, laut yang sebenarnya di
kawasan timur Nusantara.
Dalam pengembaraannya mereka berkelompok, berasimilasi dengan
pribumi yang murni keturunan Phytecantropus Wajakensis membentuk suatu
komunitas untuk bertahan di alam yang benar-benar masih asli nan elok rupawan.
Jika sudah dirasa cukup komunitas dan peradabannya, mereka
melanjutkan lagi pengembaraannya membuka jalan baru di antara rimbunan
pepohonan hutan tropis yang lebat dan serangan hewan-hewan liar di sana-sini,
sambil berjalan kaki atau naik kuda atau naik kereta kuda atau ditandu dengan
sesekali meninggalkan beberapa prasasti bukti napak tilasnya, untuk kemudian
membentuk peradaban baru di wilayah yang masih asing, liar namun penuh harapan.
Tidak ada tenggat waktu dan target pencapaian waktu itu.
Hanya berjalan-berjalan dan berjalan, berkenalan dengan spesies sekerabat yang baru
dikenalnya, bersosialisasi, berasimilasi, beranakpinak dan bisa melanjutkan
hidup di tanah baru.
Puluhan hingga ratusan tahun kemudian komunitas-komunitas
itu semakin besar, beradab, memiliki keunikan budaya dan persamaan pandangan
hingga mampu membentuk sistem pemerintahan (penguasa dan rakyat) berupa
kerajaan-kerajaan.
Menurut catatan sejarah, konon kerajaan pertama adalah Syiwa
yang dipimpin Putri Sima pada abad 6 masehi. Suatu kerajaan, pasti akan
memiliki suatu sistem pemerintahan dan sosial-budaya yang ditunjang oleh sarana
fisik yang dibangun dengan menerapkan teknologi tertentu. Sebagai jejak
peradaban yang paling awet hingga kini adalah candi-candi.
Jika memang demikian, maka pengembaraan dari tanah asal para
leluhur bisa jadi dimulai sejak 4-5 abad sebelum masehi atau 1000-an tahun
sebelum kerajaan pertama berdiri, dengan perkiraan tahapan proses peradabannya
mulai dari;
- beradaptasi dengan alamnya dan bertahan,
- menentukan wilayah tetap,
- bersosialisasi dan asimilasi dengan kelompok
aseli,
- menggarap tanah sebagai sumber pangan/papan,
- berkoloni dan beranak pinak,
- membuat kesepakatan sistem sosial,
- menunjuk pemimpin kelompok maupun sub-sub
kelompok,
- menyepakati sistem pemerintahan sederhana; ada
yang merintah dan ada yang diperintah,
- hingga saling berbagi pengetahuan untuk
menerapkan ilmu dan teknologi tertentu agar komunitas menjadi semakin mapan.
Bisa jadi, komunitas itu pernah mengirimkan perwakilannya
untuk belajar ilmu dan teknologi di tanah asalnya, yang relatif lebih maju
peradabannya. Misal; untuk bangun candi ataupun sarana/infrastruktur yang
dibutuhkan.
Dalam perjalanannya, ratusan tahun kemudian proses alami memperadabkan
tanah baru itu memunculkan kerajaan-kerajaan baru, yang dalam perkembangannya
pula, atas sifat dasar manusia yang suka bersaing, mereka pun lantas harus
bersaing untuk menunjukkan wilayah yang dikuasainya, yang sudah kadung menjadi
suatu peradaban yang unik dan khas, melalui proses pembangunan budaya ratusan
tahun lamanya, yang selanjutnya menjadi suatu kedaulatan yang harus
dipertahankan.
Persaingan antar kerajaan atas sifat mendasar manusia itu
pun dimulai, seolah melupakan sejarah pengembaraan leluhurnya dari tanah asal
yang sama dan merupakan keturunan yang sama, setidaknya, antara kelompok
pengembara yang phytecantropus asia selatan dengan phytecantropus wajakensis
tadi.
Roda sejarah pun terus berputar menuju babak pengaruh budaya
baru yang menjadikan wilayah ini semakin banyak mendapatkan pengaruh dari
penjuru bangsa-bangsa pionir = asia tengah dan eropa.
Katakanlah pengaruh budaya asia tengah mulai abad 10 masehi
dan pengaruh budaya eropa pada 17 masehi. Kiranya pengaruh kebudayaannya relatif
muda untuk merubah dominasi budaya yang sudah ter-kharakteristik dan mengakar kuat
atas hasil proses peradaban dari Asia Selatan-Indochina yang relatif jauh lebih
lama dan jauh lebih dramatis.
Ibaratnya pengaruh budaya Asia Tengah dan Eropa itu instan.
Sedang pengaruh budaya dari asia selatan dan indochina itu
mendarah daging. Mungkin juga ditunjang dengan kondisi alamnya yang sama-sama
di kawasan tropis. Tapi –menurut saya-; tempaan proses membuka peradaban baru
di tanah air yang masih asli, dalam kurun waktu ribuan tahun, akan berpengaruh
menjadi faktor genetik yang menghasilkan kharakter yang unik yang selaras
dengan kondisi alam sebagaimana pernah menghidupi para leluhurnya.
Jadi, jika menyadari jati diri dari kebanyakan yang hidup
saat ini di negeri ini adalah para pengembara tangguh dari bangsa yang berhasil
menjadikan suatu peradaban dan kebudayaan yang unik sejak tiga ribuan tahun
lalu, mengapa kita-kita ini begitu senang mencoba mempelajari kebudayaan dari
bangsa-bangsa yang belum sempat menempa jati diri yang mengakar kuat ?
Banyak hal; mulai seni, budaya, politik, ilmu pengetahuan,
teknologi hingga agama. Hampir semuanya dipelajari, ditiru dan diterapkan
–bahkan sedikit memaksa- dari bangsa-bangsa yang memberikan pengaruh budaya
instan itu. Sementara ada semacam kata bathin dari dalam yang meronta bilang;
“…itu bukan kharakter
unik kami. Para leluhur dan nenek moyang kami, atas tempaan hasil pengembaraan
tangguh ribuan tahun silam bukan begitu kharakternya…yang dipelajari, ditiru
dan diterapkan itu, baru ratusan tahun kemarin…”
Alhasil, hal-hal yang dicoba pahami namun kurang sesuai
dengan jati diri itu, hanyalah menjadi butiran air di atas daun. Tidak meresap
sebagaimana butiran air di atas bumi.
Bisa dipelajari, ditiru dan diterapkan namun tidak seimbang
dengan kharakter alami.
Sama seperti manusia secara individu, suatu bangsa akan
menjadi matang jika sudah memahami dan memaklumi jati dirinya.
Terlambat ? mungkin iya.
Tapi coba renungkan betapa tangguhnya para leluhur ketika mencoba
mengisi kehidupan di tanah air baru ribuan lahun lalu, yang mengguratkan jati
diri yang membekas sampai kini. Tanpa sekalipun berucap; ‘Terlambat’…
Tanjung Redeb, 3 Maret 2015.