Senin, Februari 22, 2010

Bioskop Kelud dan Tenun, tempat nonton film bersensasi ampera, di kota Malang era 70-an hingga awal 90-an.

Di kota Malang, pada awal tahun 70-an hingga awal 90-an, terdapat dua bioskop yang sempat mendapatkan tempat dihati penduduk kota itu karena menawarkan sensasi tersendiri untuk menikmati film-film yang diputarnya.

Bioskop Kelud atau yang lebih populer disebut sebagai Dulek, karena dibaca dari belakang susunan hurufnya, tepatnya terdapat di jalan Kelud, diambil dari nama salah satu gunung di Jawa Timur, dekat kota Blitar.

Sedangkan bioskop Tenun, nama populernya tetap Tenun, karena malah tidak bagus kedengarannya kalo dibaca susunan hurufnya dari belakang, berada di jalan Tenun. Mungkin diambil dari nama salah satu pulau di Indonesia, karena nama jalan itu berada di wilayah nama-nama jalan yang diambil dari nama-nama pulau terpencil Indonesia.

Apabila ditinjau dari letak strategis, maka bioskop Kelud berada di lokasi yang relatif strategis, karena berada di dekat jantung kota Malang, yaitu lebih kurang hanya satu kilometer ke arah barat dari alun-alun bundar. Sedangkan bioskop Tenun berada relatif jauh dari jantung kota Malang, yaitu sekitar tiga hingga empat kilometer ke arah selatan alun-alun bundar, namun masih diperhitungkan berada di kawasan kotamadya, bukan kabupaten.

Penggambaran lokasi lainnya yang nantinya turut memberikan gambaran status sosial dan kalangan penikmat film di kedua bioskop itu adalah, jalan Kelud berada tepat di daerah perumahan masyarakat, tepatnya perkampungan, sedangkan jalan Tenun berada di daerah kawasan industri, terutama pabrik rokok, penyimpanan tembakau dan penyamakan kulit.

Kedua bioskop itu dikelola oleh suatu yayasan yang bernama yayasan Panjura. Nama Panjura berasal dari sebuah singkatan yaitu; delaPAN penJURu Angin. Sedangkan, kalimat delapan penjuru angin angin itu berasal dari lambang kesatuan salah satu pasukan elit polisi yaitu Brigade Mobil (Brimob). Dengan demikian berarti, yayasan Panjura adalah suatu institusi non profit dengan kegiatan-kegiatan utama yang bersifat pengabdian dan membina masyarakat, yang didirikan oleh perwira-perwira juga kalangan senior anggota Brimob-Polri dari kompi 5111 di kota Malang. Kompi ini dulunya berada di jalan Pahlawan Trip, sebelum kemudian dipindahkan di daerah Ampel Dento di kabupaten Malang pada tahun 1995-an.

Terdapat lima ciri khas utama dari bioskop Kelud dan Tenun yang mungkin tidak dimiliki oleh kebanyakan bioskop lainnya, yaitu;

1. Tidak terdapat langit-langit atau atap gedung bioskop yang merupakan buatan manusia. Langit-langitnya begitu alami, karya asli buatan Tuhan Yang Maha Esa yaitu langit yang sebenarnya.

2. Penontonnya berasal dari berbagai kalangan, bener-bener dari berbagai kalangan yang sebenarnya, mulai dari pedagang asongan rokok, pedagang es rolly, pedagang kacang pedas yang dibungkus dalam plastik kecil, pemulung rokok uthis (sisa rokok yang dibuang tapi masih ada tembakaunya), bakul tahu petis, bakul jagung bakar, wanita penjaja cinta sesaat yang dikenal dengan sebutan balon (nolab), buruh pabrik, masyarakat perkampungan sekitar, anak-anak sekolahan tingkatan smp sampai sma baik yang bayar resmi atau yang gratis dengan memanfaatkan kekecilan tubuhnya untuk masuk melalui penjaga karcis tanpa ketahuan atau yang gratis karena kenal banyak dengan bapak-bapak dan pak lek-pak lek penjaga karcis di pintu masuk, karena tinggalnya satu asrama, ya di asrama Brimob kompi 5111 itu, seperti saya ini.

Bahkan di bioskop Kelud yang notabene berada di jantung kota, maka penontonnya hingga kalangan calon intelektual yaitu mahasiswa baik yang masih mau meraih jenjang strata D-3, strata 1 maupun strata 2. Mungkin juga dulu terdapat beberapa orang yang mewakili kalangan sosiolog pernah mempelajari sosiologi unik dari kedua bioskop ini, termasuk wakil rakyat.

Juga dalam pengalaman dan pengamatan saya, seringkali ada beberapa teman sekolah saya yang kebetulan anaknya orang kaya yang turut menonton film di bioskop Kelud, setidaknya mereka mewakili golongan ekonomi menengah ke atas, yang mungkin sedang bertualang mencari sensasi lain dengan menonton di bioskop ini.

3. Kapasitas kedua bioskop itu, masing-masing bisa diperhitungkan hingga bilangan ribuan. Untuk bioskop Kelud, menempati areal seluas 2000-an m2. Sedangkan bioskop Tenun relatif lebih kecil yaitu kisaran 900-an m2.

Saya tidak pernah bisa menghitung pasti angkanya berapa, tapi apabila ditinjau dari bentuk kursi berupa bangku kayu deret panjang hingga ratusan baris, dengan posisi penonton yang berdempetan, maka pada beberapa pertunjukan film yang disukai, walaupun bukan berkriteria box office menurut pengamat film yang sah, maka penontonnya bisa over load. Jika tidak ada tempat duduk yang bisa diduduki, maka dengan rela dan khidmat mereka akan berdiri atau lesehan selama film diputar, minimal 1,5 jam-an untuk film-film barat, 2 jam-an untuk film-film Indonesia dan 3 hingga 3,5 jam-an untuk film-film India.

Namun demikian, dalam sejarahnya beroperasi hingga 20-an tahun, di kedua bioskop ini tidak pernah terjadi keributan merugikan yang melibatkan hingga ribuan orang.

Beberapa keributan kecil yang tidak sampai menjadikannya sebagai huru-hara massa, biasanya seperti ini;

a. karena pas adegan seru terjadi, kemudian sebagian penonton terhalang penglihatan oleh penonton lainnya yang terpaksa berlalu lalang karena turun hujan. Atau…

b. karena pandangan terganggu oleh pedagang asongan yang melintas di sela-sela barisan kursi penonton, sambil sesekali mengeluarkan suara dagangan yang ditwarkannya seperti;

- “..eesss-‘e rolly eessss…sing ngelak-sing ngelak…ngemut eesss’e rolly es..”
- “..permen kopi permen…tombo ngantuk permen…kopi, jahe, mentos..permeen…”
- “..jeruk..jeruk..manis…gak manis uang kembali, jeruk…”
- “..caaangngng…kacaaaangngng….sarat sah nontok ndhik Dulek kudu mangan
kacaaangngng….”

biasanya kepala penonton yang terhalang langsung bergerak-gerak seirama dengan berlalunya sang pedagang, demi menjaga tempo perhatian mata pada gerakan gambar film di layar. Atau….

c. karena penglihatan penonton di bagian belakang yang terhalang gambar bioskopnya oleh payung yang dikembangkan oleh penonton lainnya di bagian depan. Kontan beberapa penonton di bagian belakang akan berteriak;
“…wwoooyyy payuuungngng !!!!…”

Biasanya kalo sudah begini, maka penonton yang mengembangkan payung akan menundukkan payungnya, sehingga posisi duduknya akan lebih membungkuk, tapi tatapan mata tetap ke arah gambar film yang sedang diputar. Atau...

d. karena penonton di bagian belakang ada yang iseng melempar putung rokok ke penonton bagian depan. Biasanya, orang yang terkena lemparan rokok iseng itu akan berdiri dan menuju ke bagian belakang yang diperkirakan asal rokok itu dilemparkan sambil marah-marah dan memaki-maki juga menantang siapa yang berani mengaku melempar rokok itu.

Biasanya memang tidak ada yang berani mengaku, hingga orang yang menjadi korban rokok terbang itu kembali ke tempat duduk asalnya melanjutkan adegan yang sepenggal sempat tidak dinikmatinya. Tentunya sambil tetap menggerutu selama beberapa saat. Atau…

e. karena ada salah paham antara penonton yang membeli barang dagangan asongan. Biasanya terjadi dalam proses pembayaran atau pengembalian sisa uang (duit susuk-an), namun ternyata setelah di-cek & ricek, terdapat kekurangan uang, baik yang dibayarkan oleh pembeli atau yang dikembalikan oleh si penjual.

Maklum, mereka bertransaksi dalam kondisi semua lampu dimatikan selama pertunjukan film berlangsung dan hanya mengandalkan cahaya lilin yang dibawa oleh si pedagang asongan untuk menyinari barang dagangannya. Itu-pun cahaya sinar lilinnya sering bolak-balik arah karena terkena angin. Atau…

f. karena ada wanita penjaja cinta, ya nolab itu, yang marah-marah karena pelanggannya tiba-tiba melarikan diri dalam kegelapan, setelah diberikan layanan cinta sesaat dalam bioskop selama film diputar.

Pada pertengahan hingga akhir tahun 80-an, dii bioskop Kelud, sempat pernah ada seorang primadona wanita penjaja cinta, namanya Jamilah.

Begitu terkenalnya nama Jamilah itu, hingga kalo saya nanya jam pertunjukan film yang akan saya tonton dengan teman saya pas malam minggu seperti ini; “jam piro engko’ ladub nang Dulek ?” (“jam berapa nanti berangkat ke Kelud ?), maka jawabannya biasanya seperti ini; “jamilah nolab Dulek…..”

Percayalah para pembaca yang budiman, saya dan teman saya tidak pernah bertemu atau mengenal yang namanya Jamilah itu, tapi setiap ada guyonan nanya jam di kalangan penggemar bioskop Kelud, maka biasanya jawabannya seperti itu. Artinya, nama Jamilah hampir identik mewakili nama kaum wanita penjaja cinta sesaat di bioskop Kelud kala itu.

Biasanya posisi mereka berada di deretan bangku belakang bagian pojok dan biasanya juga posisi mereka ketika berasyik masyuk akan ditutupi oleh teman-temannya yang berombongan di deretan bangku itu. Atau…

g. pernah ada kejadian, rombongan anggota tentara yang ngamuk di dalam bioskop Kelud dengan merusak tempat duduk tempat mereka duduk. Gara-gara, mereka harus membayar penuh karcis yang dibeli walaupun sudah mencoba menjelaskan bahwa mereka juga sesama abdi negara, dalam hal ini ABRI.

Usut punya usut ternyata masalahnya sepele, yaitu papan pengumuman yang dipasang di bagian pembelian karcis di bioskop itu, yaitu; “Anggota ABRI berpakaian sipil membayar penuh, sedangkan yang berpakaian dinas tidak perlu membeli tiket/gratis.”, tidak sepenuhnya dibaca.

Untungnya bisa diselesaikan dengan baik-baik hingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lebih lanjut.

Kalo contoh kasus kecopetan saya belum pernah mengalaminya. Mungkin pas ada kasus copet, saya pas tidak nonton di bioskop ini.

Keributan-keributan seperti contoh tersebut di atas, bisa di atasi oleh penjaga bioskop yang tidak lebih dari tiga regu atau sekitar 25-an orang anggota Brimob yang berpakaian sipil dan turut bertugas mengelola keamanan di kedua bioskop itu. Belum lagi partisipasi penonton lainnya yang dengan sukarela membantu melerai dan memberikan masukan yang bersifat mengingatkan bahwa tujuan mereka datang di bioskop ini adalah menikmati cerita film, bukan mencari keributan.

4. Film-film yang diputar, bukanlah film-film yang terlalu lama untuk ditunggu ‘jatuhnya’ dari bioskop-bioskop yang lebih berkelas di kota Malang. Bahkan film-film yang berkriteria peraih piala Citra hingga yang menjadi box-office ala Hollywood ataupun film-film silat Hongkong dan buatan India / Bollywood juga dipastikan akan mampir di kedua bioskop ini untuk dinikmati oleh penonton-penonton setianya.

Seingat saya, beberapa film kategori drama nasional yang melegenda ditahun 70-an hingga 80-an, seperti;

- Koboi Cengeng (yang dibintangi Bing Slamet, Eddy Sud, Ateng-Iskak dkk.)
- Bernapas dalam Lumpur (yang dibintangi oleh Suzanna)
- Ratapan Anak Tiri (yang dibintangi Faradhila Sandy)
- Kampus Biru (yang dibintangi Roy Marten, Rae Sita)
- Ali Topan Anak Jalanan (yang dibintangi oleh Marai Siahaan)
- Kabut Sutra Ungu (yang dibintangi Jenny Rahman)
- Romy dan July (yang dibintangi Sophan Sophiaan dan Widyawaty)
- Badai Pasti Berlalu (yang dibintangi Christine Hakim, Roy Marten)
- Gita Cinta Dari SMA (yang dibintangi Rano Karno dan Jessy Gusman) dengan sequelnya Puspa Indah Taman Hati.

- November 1828 (yang dibintangi Slamet Raharjo, El Manik)
- Inem Pelayan Sexy (yang dibintangi Dorrys Calebout dan Jalal)
- Sarinem (yang dibintangi Titik Puspa dan komedian all stars tahun 70-an, macam; Kardjo AC/DC, Suroto, Ateng-Iskak, Sinyo Prapto dll.)

dan beberapa film box office berkategori klasik buatan Hollywood / Eropa seperti;

- Film perang seperti; The Dirty Dozen; Guns Of Navarone; Force Ten Of Navarone; Tora Tora Tora !; The Wild Geese; The Bridge is too far; Omar Muchtar: Lion of the desert; Platoon.

- Film kolosal klasik seperti; Ben Hur; Spartacus; Cleopatra.

- Serial James Bond, seperti; Live and Let Die; The man with the golden gun; Spy who loved me; Moonraker; For your eyes only; Octopussy; View to a kill; Licensed to kill.

- Film drama percintaan seperti; The way we were; Against all odds; film yang lagunya dinyanyikan Billy Joel; I love you just the way you are; Falling in Love dan film yang dibintangi Merryl Streep dan Rober Redford dengan setting alam di Afrika.

- Serial koboi; Jango; The good the bad the ugly; For a view dollars more; Fistfull of dollar hingga serial Young Guns.

- Serial Death Wish-nya Charles Bronson.

- Serial Harry Callahan-nya Clint Eastwood; Dirty Harry; Magnum Enforcer; Sudden Impact; Dead Pool.

- Serial the God Father, seingat saya yang seri 2 dan 3.
- Serial Superman
- Serial Star Wars; IV; V; VI
- Serial Indiana Jones; 1, 2, 3
- Serial Alien; Alien; Aliens; Alien III
- Film-film serialnya Cak Nur (Chuck Norris, maksud-nya), seperti Missing in Action, Invasion USA, Silent rage, An Eye for an eye dll, film kelas B-nya yang biasanya diproduser-i oleh Golan-Globus.

- Serial Rambo dan Beverly Hills Cop.
- Serial Lethal Weapon.
- Jurassic Park
- Serial Naked Gun
- Serial Terminator; Terminator; Terminator 2.
- The Abyss.
- Hingga film yang menginspirasi kaum wanita untuk berpotongan rambut pendek ala Demi Moore pada tahun 90-an yaitu; Ghost,

adalah deretan judul-judul film sebagai contoh fim-film yang berkelas yang pernah diputar di kedua bioskop itu dan sebagian besar juga pernah saya nikmati, sebagai pengisi waktu di malam minggu, pada 25-an hingga 30-an tahun yang lalu bersama temen-temen sd, smp, sma hingga temen kuliah saya, termasuk anak-anak tetangga se-asrama saya.

Itu belum film-film mandarin baik yang berkisah tentang silat, kung fu hingga yang lucu-lucu. Saya banyak lupa judulnya, tapi kebanyakan yang dibintangi oleh Jacky Chan, bahkan ketika namanya masih Chen Lung, saya pernah nonton di bioskop ini, tepatnya di bioskop Tenun pada tahun 1979-1980-an, seperti; Drunken Master; Fearless Heyna; Tiger in the eagle shadow, the young master hingga Project A, flmnya Jackie Chan yang mengawali setting era modern dengan gerakan akrobatik yang lebih lincah dibanding dengan film-film sebelumnya.

Juga film-film yang dibintangi oleh Willy Dozan ketika masih menjadi bintang film Hongkong bernama Chuang Chen Li, salah satunya berjudul; The Crystal Fist.

Itu belum termasuk film-film mandarin yang dibintangi oleh; David Chang dan Tommy Ti Lung (dulu hanya disebut sebagai Ti Lung saja, tanpa Tommy), Jimmy Wang Yu (dulu namanya tanpa ada embel-embel Jummy-nya) juga yang dibintangi oleh bintang film berbakat yang mati muda yaitu; Fu Shen. Salah satu judul film-nya yang populer adalah; Nacha. Tentunya juga film-film yang dibintangi oleh Bruce Lee, seperti; Fist of Furry; Enter the Dragon; The way of the dragon (yang main bareng sama Chuck Norris itu) dan Game of Death.

Tidak ketinggalan untuk jenis film-film laga buatan Jepang, saya juga pernah menontonnya. Beberapa nama bintangnya juga saya masih ingat sampai sekarang, seperti; Sinisichiba (sekarang berganti nama menjadi Sony Chiba), Etsuko Shiomi (jagoan cewek, biasanya dulu memainkan senjata trisula), Tadashi Yamashita dan Yaztaki Kurata.

Untuk jenis film India, bisa dikatakan saya tidak pernah menontonnya. Pernah menonton sekali, judulnya saya lupa, tapi bintangnya Amitabbachan. Sebetulnya bagus, karena moral ceritanya positif bahkan kalimat-kalimat dalam dialognya berfilosofi dalam. Yang membuat nggak telaten itu, karena ada tari-tarian dan nyanyi-nyanyiannya sebagai pelengkap alur cerita inti film. Waktu itu saya sempat membayangkan apabila film Penumpasan Pemberontakan G-30-S/PKI arahan surtadara Arifin C. Noer yang sempat menjadi film wajib tonton bagi pelajar/mahasiswa/pegawai negeri pada tahun 1985 itu dibuat versi India-nya, niscaya akan menjadi film berdurasi paling panjang sedunia.

Namun demikian, saya termasuk hapal nama-nama bintang film India klasik yang terkenal, seperti; Jetjendhraa, Dharmendhraa, Hemamalini, Raj Kapoor (biasanya dibaca; Rai Kapur), Rishi Kapoor dan Anil Bakwaan. Nama-nama itu biasanya saya dengar sewaktu ibu-ibu asrama sedang ngobrol satu sama lain pas masak di dapur asrama atau pas cuci piring (korah-korah) atau pas cuci baju di bak besar penampungan air bersama atau pas sedang transaksi dengan mak-mak mlijo untuk belanja sebagian kebutuhan bahan pokok, seperti sayur mayur, lauk pauk ringan seperti tahu, tempe, ikan lele, potongan ikan tongkol dan ikan gerih termasuk 1-2 botol beras kencur atau jamu gepyok-an sebagai minuman suplemen untuk konsumsi ibu-ibu sebagai bekal untuk ‘menghadapi serangan’ suami-suami mereka yang terhitung prajurit ABRI.

Adapun untuk film-film buatan Indonesia, saya tidak pernah absen untuk nonton film-filmnya Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro). Biasanya penggemar film-filmnya yang juga penonton setia di kedua bioskop ini menyebutnya sebagai film-nya Dono. Jadi kalo ditanya; “film-nya apa sekarang ?”. Jawabnya hampir pasti; “..ooo film-nya Dono..”. Dari sekian puluh film-filmnya Warkop DKI, menurut saya yang bagus ada tiga judul, yaitu; Dongkrak Antik, Saya Suka Kamu Punya dan satu lagi saya lupa judulnya, pokoknya ada adegan pas Indro tertelan sempritan. Juga film-film Indonesia yang lucu lainnya bangsa pemainnya Kadir-Doyok, seperti; Cintaku Di Rumah Susun.

Sedangkan film-film berjenis sensual yang biasanya buatan Itali, dengan bintang-bintang seperti Edwidge Fenech dan Gloria Guida, saya tidak pernah menontonnya. Bukannya tidak kepingin, tapi kebetulan setiap film jenis itu, diputarnya tidak pas malam liburan. Jadi cari alasannya susah kepada Bapak dan Ibu saya.

* Note: sebenarnya untuk film-film Itali yang berjenis detektif dan laga, cerita dan adegannya masuk akal dibandingkan dengan yang buatan Hollywood. Nama-nama jagoan film Itali yang saya ingat selain Franco Nero adalah; Luc Merenda, Fabio Testi dan Thomas Milian.

Apalagi kalo film-film laga atau misteri buatan Indonesia yang sebenarnya film jenis sensual berdalih laga atau misteri. Wis alamat; no way !. Namun demikian, saya masih hapal nama-nama bintangnya, karena sering melihat poster yang terpajang di depan bioskop Kelud sewaktu berangkat dan pulang sekolah semasa SMA, seperti; Wieke Widowaty, Sherly Marcellina, Sri Gudhi Sintara, Kiki Fatmala, Nurul Arifin, Yurike Prastica, juga tidak ketinggalan; Eva Arnaz.

Kebanyakan film-film yang diputar di kedua bioskop ini adalah yang memiliki alur cerita yang mudah dinikmati dan berakhir happy ending. Bukan runtutan cerita yang rumit yang membuat dahi berkernyit. Pernah dulu diputer film yang berjudul; All the president’s men, yang dibintangi oleh Dustin Hoffman dan Robert Redford, malah banyak yang komplain penontonnya pas pulang, begini;
“..janc*k !!!…wes mbayar, mikir…”

5. Harga karcis tanda masuk di kedua bioskop itu termasuk terjangkau. Bahkan sangat terjangkau, sesuai dengan pendekatannya sebagai ampera atau amanat penderitaan rakyat. Saya masih ingat di kisaran tahun 1977-an ketika saya masih kelas 2 SD, harganya masih Rp. 15,00 (lima belas rupiah) untuk sekali pertunjukan. Berpuluh tahun kemudian pada tahun 90-an menjadi Rp. 150,00 (seratus lima puluh rupiah) untuk kelas festival hingga tribun (baca yang duduk di bangku kayu panjang ukuran 30-an cm lebarnya yang terdiri dari dua baris kayu berlebar 10-an senti berjarak ruang kosong 10-an senti dan panjangnya sekian puluh meter) dan Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) untuk kelas balkon (kelas ini tertutup langit-langit buatan manusia yang memisahkan dengan langit alami, sehingga tidak perlu panik waktu hujan, paling mengalami sedikit tampiasan kalo pas hujan berangin kencang). Sebetulnya ada juga kelas VIP, yang juga terletak di balkon yang dikhususkan untuk tamu penting atau kalo untuk umum dijual karcisnya kalo tidak salah Rp. 500,00 (lima ratus rupiah).

Untuk kelas balkon dan VIP, adanya hanya di bioskop Kelud, dengan kapasitas sekitar 200-an orang saja. Istilahnya, kelas ini diperuntukkan bagi peminatnya yang relatif lebih mapan daripada penonton di kelas festival hingga tribun. Biasanya kalangan yang sudah berkeluarga, bersama suami, istri dan anak-anak, juga bagi penonton yang sudah tidak sanggup lagi untuk berlarian mencari pelindung menghadapi perubahan cuaca mendadak yaitu hujan, ketika film tengah diputar. Juga bagi penonton yang sudah tidak kuat lagi duduk berjam-jam tanpa ada sandaran punggung di kelas festival dan tribun di bawahnya.

Bentuk kursi di kelas balkon ini memang lebih ergonomis, berupa kursi kayu yang ada sandaran dan letak kedua tangannya. Di kelas VIP malah kursi empuk, dengan kapasitas hanya 25-an kursi.

Adapun kesempatan untuk berbelanja makanan/minuman dan rokok asongan selama pertunjukan film tidak diberikan di kelas ini. Hal ini-lah yang membuat kadang-kadang penikmat film dengan sensasi khas tersendiri di bioskop Kelud dan Tenun tidak berminat untuk memilih tempat duduk di balkon atau di VIP. Bagi mereka, lebih gayeng untuk menikmati film di kelas festival atau tribun dengan segala petualangan yang juga menyertakannya seperti tersebut di poin 3.a hingga 3.f tersebut di atas.

Sebenarnya, saya lebih familiar dengan bioskop Tenun dibandingkan bioskop Kelud. Bagaimana tidak, hampir setiap malam minggu, sejak saya kelas 2 SD hingga kelas 6 SD, bisa dipastikan saya dan beberapa teman-teman saya seasrama, seringkali sebanyak 3-4 orang untuk menonton di bioskop itu, karena bisa dipastikan pada setiap malam liburan, maka film yang diputar berkategori untuk segala umur.

Biasanya kami diantar oleh mobil jenis jeep atau Toyota hardtop atau Datsun pick-up tertutup warna hijau yang setiap jam ½ 7 malam setelah maghrib-an akan menjemput personil yang akan menjaga bioskop Tenun. Dan pasti akan dikawal oleh Bapaknya masing-masing, karena Bapak saya (tepatnya Mbah Kakung saya) dan Bapak teman-teman saya adalah personil yang bertugas menjaga keamanan dan mengelola bioskop Tenun itu. Atau kalo tidak begitu saya dibonceng Bapak saya naik sepeda motor bebek merk Yamaha keluaran tahun 1975 yang berwarna hijau, berangkat dari jalan Pahlawan Trip ke bioskop Tenun dengan waktu tempuh sekitar ½ jam-an.

Jelas perlengkapan wajib yang kami gunakan adalah jaket dan celana panjang. Kadang-kadang menggunakan syal atau topi penutup telinga. Maklum pada tahun 70-80an, kota Malang masih dingin-dinginnya. Apalagi kalo sore atau siangnya habis turun hujan, bisa keluar embun dari mulut kalo pas ngobrol.

Karena kami juga harus menunggu hingga tugas Bapak kami tuntas sebagai penjaga keamanan dan pengelola bioskop Tenun, maka praktis kami menonton filmnya hingga 2 kali. Karena baik bioskop Tenun dan Kelud, dalam satu malam memutar film sebanyak 2 kali dan pastinya adalah waktu malam hari, ketika langit benar-benar gelap, yaitu; pukul 19:00 dan 21:00 WIB untuk Kelud dan pukul 19:30 dan 21:30 WIB untuk Tenun.

Belum lagi kalo ada midnite show pas Natal-an dan Tahun Baru-an, hingga nambah 2 film baru yang bagus setelah film biasa berakhir, yaitu mulai jam 00:00 hingga biasanya berakhir jam 04:00 WIB. Jadi sepulang nonton film bisa dilanjut ke mushola atau masjid terdekat untuk menunaikan Subuh-an.

Pemaksaan kehendak kepada anak ? atau eksploitasi kesukaan film kepada anak ? menurut saya sama sekali tidak. Mungkin hal ini adalah hal yang terbaik yang bisa dilakukan oleh Bapak saya dan juga Bapak-bapak teman-teman saya seasrama untuk memberikan apresiasi kepada anak-anak-nya setelah semingguan belajar.

Mau membiarkan kami-kami ini hanya di rumah saja, selama seminggu-an, kok ya tidak tega, masak hanya mengandalkan TVRI saja waktu itu yang kebanyakan isinya berita nasional. Masa itu, bagi anak-anak se-usia saya, acara yang paling ditunggu adalah film kartun setiap jam 6-an sore. Itu-pun kepotong adzan Maghrib.

Lagipula kami sangat senang apabila malam minggu atau malam liburan tiba dengan menikmati film di bioskop Tenun ataupun Kelud. Karena selain menikmati film, pas jeda pertunjukan juga bisa bermain berlarian keliling areal bioskop bersama teman-teman tanpa khawatir diganggu orang, karena kebanyakan penonton mengetahui kalo kami-kami ini anaknya yang jaga bioskop, saking seringnya nonton di situ.

Bagaimana kalo mendadak kami lapar ? nggak usah khawatir, karena ada warung langganan di dalam area bioskop yang biasa melayani pengelola bioskop. Menunya ? Tahu Lontong / tahu tek plus teh manis panas. Atau diajak keluar Bapak saya untuk andhok pangsit cu wi mie di sekitar bioskop Tenun. Nama penjualnya; Cak No, harganya masih Rp. 50,- ditahun 80-an dan sekarang masih eksis, cuman harganya sudah mencapai Rp. 6.000-an.

Kalo mendadak ngantuk ? sekali lagi nggak usah khawatir, karena di ruangan loket atau di ruangan proyektor tersedia bangku panjang, yang muat hingga dua anak untuk tidur. Pernah saya tidak sadar pas pertunjukan jam kedua berlangsung, saya ketiduran dan besok paginya ketika terbangun sudah di tempat tidur saya di rumah.

Karena di bioskop Tenun tidak tersedia balkon, maka seringkali saya dan teman-teman saya menonton filmya di ruangan proyektor. Selain lebih aman, juga tidak perlu bingung ketika hujan.

Saya masih ingat betul suasana proyektor di bioskop Tenun. Bangunan berdinding tembok ini berada di lantai dua, sedangkan lantai satu-nya digunakan sebagai ruangan kantor pengelola bioskop. Ukurannya sekitar 4 x 5 meter. Empat meter lebarnya dan lima meter panjangnya. Proyektornya ada dua, keduanya dihadapkan pada layar yang terbuat dari kain berukuran besar, sekitar 12 x 8 meter. Duabelas meter panjangnya, delapan meter tingginya. Jarak antara layar dengan ruang proyektor berkisar 15-20 meteran. Atau mungkin ini masih bias, karena saya masih kecil waktu itu dengan tinggi sekitar 130-an senti. Yang penting sekitar itu-lah penggambarannya.

Sedangkan untuk bioskop Kelud, layarnya sudah dibuat dari tembok permanent warna putih, lebih lebar dan tinggi dan dilengkapi anti petir di atasnya. Jarak antara proyektor dengan layar pun relatif lebih jauh, karena volume penontonnya yang lebih banyak.

Kedua proyektor itu bediri berdampingan, dengan fungsi sebagai proyektor utama dan proyektor cadangan. Proyektor utama sebagai pemutar gulungan film sehingga terefleksikan sebagai gambar bergerak, sedangkan proyektor cadangan, biasanya sebagai penyorot papan-papan transparan yang terlihat dalam layar sebagai iklan atau pengumuman. Atau bisa juga sebagai proyektor apabila proyektor utama mengalami kerusakan.

Pengumuman yang disampaikan terdapat 2 kriteria, yaitu;

- yang bersifat iklan, biasanya iklan jamu dan obat kuat atau obat penumbuh kumis dan bulu-bulu di wajah atau alamat-alamat penjahit. Pengumuman ini hanya disampaikan melaui slide-slide berwarna, yang dipancarkan melalui proyektor cadangan.

- yang bersifat memang pengumuman urgent bagi penonton, seperti pengumuman yang ditujukan kepada salah satu penonton dengan menyebut nama dan alamat-nya yang lengkap, yang memberitahukan apakah istrinya melahirkan, bapak atau ibu mertuanya sakit keras atau salah satu handai tolannya meninggal dunia, hingga anaknya nangis tidak mau berhenti di rumah dan lain-lain yang bersifat kerumahtanggaan.

Biasanya ditujukan kepada penonton dengan nama yang menunjukkan bahwa dia berjenis kelamin pria. Pengumuman ini, bisa ditampilkan melalui slide warna putih dengan tulisan tangan sambil menutupi gambar film yang sedang diputar, atau di-umumkan melalui halo-halo oleh petugas proyektor yang bernama Pak lik Miskali.

Jadi kalo ada pengumuman seperti ini;

“...perhatian-perhatian, panggilan ditujukan kepada Sodara Damirin, alamat klayatan kepuh gang buntu, harap pulang karena istrinya akan melahirkan...ditunggu di proyektor”,

sontak biasanya ada penonton yang mengomentari seperti ini;

“…’reennn ‘ndang moleeh ‘oo…bojo-mu arep manaaaaakkk…!!!”

dan biasanya memang beritanya benar, karena pemberi berita akan diminta untuk menunggu di kantor di ruangan bahwa ruang proyektor sampai orang yang dipanggil datang.

Petugas utama di proyektor bioskop Tenun ada 3 (tiga) orang, yaitu; Pak lik Miskali, Lik Bakir dan Wiwok.

Pak lik Miskali bisa dikatakan orang yang paling diandalkan di lini proyektor, karena sangat piawai dan cekatan menangani pemasangan roll film yang akan diputar atau sewaktu film tiba-tiba terbakar/putus karena proyektornya kepanasan atau sigap dalam hal ngemsi pas baca pengumuman seperti tersebut di atas. Orangnya berwajah tegas, berkulit sawo matang, berambut cepak lurus, belahan pinggir. Suaranya bariton, kiranya sangat pas untuk vokalis irama keroncong.

Lik Bakir, yunior-nya Pak lik Miskali sekaligus assistennya. Orangnya tinggi besar, lebih tinggi dari Pak lik Miskali. Rambutnya ikal, berkulit kuning dan berwajah ke-arab-arab-an. Kelemahannya suka ngantuk. Sering kejadian, kalo pas Pak lik Miskali tidak ada di tempat atau ijin tidak masuk kerja (walaupun sangat jarang), tiba-tiba filmnya di layar padam dengan sendirinya. Kontan pengelola bioskop panik dibuatnya, karena sontak penonton bersuitan, menyalakan senter dan tidak jarang yang berteriak-teriak. Usut punya usut, setelah ditelusuri hingga proyektor, ternyata kedapatan Lik Bakir tertidur dengan khidmat di kursi yang tinggi (kursi khusus untuk petugas proyektor). Kalo sudah begitu biasanya Pak lik Miskali akan membangunkan dengan cara mengulir bulu kemucing ke dalam hidungnya Lik Bakir. Begitu terbangun, dijamin no hurt feeling, tiada dendam diantara mereka… sekedar mengingatkan tugas kepada sesama teman senasib.

Wiwok, orangnya gagu, tidak pernah bisa bicara dengan jelas dan hanya mengandalkan gerakan-gerakan tangan, kaki, tubuh dan mimik wajahnya untuk menjelaskan sesuatu. Tingginya tidak sampai 1,5 meter. Tapi bentuk tubuhnya atletis dan banyak tattoo-nya. Usianya jauh lebih tua dibandingkan Pak lik Miskali dan Lik Bakir yang waktu itu berusia sekitar 35-an tahun. Biar-pun demikian orangnya pandai memperlakukan wanita, buktinya istrinya ada empat.

Baik Pak lik Miskali, Lik Bakir dan Wiwok, tidak pernah merasa keberatan dengan kehadiran saya dan beberapa teman saya untuk ikutan nonton di proyektor. Mungkin mereka merasa sungkan dengan Bapak-bapak kami, tapi menurut saya bukan itu poinnya, melainkan mereka senang ada suasana diluar kegiatan rutinnya tiap hari.

Saya dulu juga sering diminta tolong untuk menuliskan judul film pada jadwal hari/tanggal putar film di papan tulis di ruangan proyektor, menggunakan kapur berwarna. Katanya tulisan saya bagus. Kalo ada film berjudul horror, maka judul filmnya saya tulis menggunakan kapur warna merah dengan model tulisan kayak lelehan darah dengan bercak-bercaknya semengerikan mungkin.

Saya dan teman-teman saya juga pernah diajari cara menyambung film yang putus atau film yang akan disambung dari roll film nomor urut selanjutnya yang akan dimasukkan ke dalam proyektor, supaya ceritanya berlanjut. Caranya dengan mengupas sedikit bagian ujung atas seluloid film, kemudian di-olesi alkohol 90% dan ditempelkan satu sama lain, selanjutnya ditiup-tiup.

Proses memasukkan rool film pertama kedalam proyektor ternyata cukup njlimet dan memerlukan ketelitian. Jika tidak, maka film-nya akan nampak terbalik di layar… penonton pun suit-suit. Jika rool film pertama sukses ditampilkan, maka selanjutnya mudah, karena cukup menyambungkan rool-rool film seri selanjutnya dengan cara seperti tersebut di atas, kecuali ada kerusakan yang menyebabkan proyektor berhenti mendadak.

Setelah seluruh seluloid film terputar masuk kedalam proyektor dan tergulung dalam rool penerima di bagian bawah depan, urusan belum selesai. Masih dilanjut dengan memutar rool penerima seluloid film itu untuk dipindahkan kedalam rool penerima lainnya agar nantinya seluloid film urut mulai adegan pertama. Proses pemindahan antar rool pada sesi ini dilakukan secara manual, dengan gerakan cepat dan terlatih. Jika tidak dilakukan prosedur ini, maka nantinya gambar film akan terlihat berjalan mundur bila diputar dibioskop pararel-nya, yaitu; bioskop Kelud.

Dapat dibayangkan, jika dalam satu judul film terdapat 6 seri rool film, maka selama semalam, apakah Pak lik Miskali, Lik Bakir ataupun Wiwok akan melakukan prosedur memutar rool film secara manual sebanyak 12 kali, untuk pertunjukan hari biasa. Itu belum kalo filmnya berjenis India yang bisa sampe 12 rool atau pas ada pertunjukan Midnite show. Tidak heran lengan ketiganya terlihat kekar, terutama pada bagian otot bisep-nya yang sebelah kanan.

Saya dulu pernah menawarkan diri untuk memutar rool seperti itu, tapi tidak diijinkan, karena memang memerlukan feeling, agar gulungan seluloidnya rapi untuk menghindari putus diproyektor nantinya.

Petugas bioskop yang tidak kalah pentingnya dari petugas proyektor adalah petugas pengantar dan penjemput rool film. Terdapat seorang petugas yang diandalkan untuk mengantar dan menjemput film waktu itu dari bioskop Kelud ke Tenun, PP, yaitu; Mas Rokhim. Orangnya gesit, sedikit bicara, berwajah tegas walau tidak sesangar Pak lik Miskali, berkulit sawo matang cenderung hitam, waktu itu masih berusia sekitar 20-an tahun, dengan model potongan rambut byak tengah sebagaimana model rambut yang sedang nge-trend di tahun 80-an. Kendaraannya motor Honda CB. Waktu tempuh dari bioskop Kelud ke Tenun juga sebaliknya berkisar 20-an menit, menggunakan kendaraan itu. Jika terjadi keterlambatan, biasanya ada masalah dengan motor yang dikendarai-nya, apakah sulit di-starter, rantai putus atau ban kempes. Tapi itu sangat jarang terjadi.

Jadi bisa dibayangkan, apabila Mas Rokhim sekali mengantar membawa dua rool film, berarti dalam semalam, dia akan bolak-balik bioskop Kelud-Tenun, setidaknya sebanyak 9 kali untuk pertunjukan biasa dan bukan jenis film India. Dan Mas Rokhim dituntut untuk tepat waktu, tidak peduli apakah ada masalah kendaraan, masalah jalanan macet karena ada truk ngguling, atau dihadang orang dalam perjalanan, yang penting harus memenuhi 20 menit-an dari Kelud ke Tenun dan balik ke Kelud lagi dan seterusnya. Dari situ akhirnya saya memahami, kenapa Mas Rokhim orang-nya sedikit bicara.

Hal lainnya yang juga sangat penting untuk diperhatikan adalah konsentrasi untuk memperhatikan nomer urut rool film. Tidak boleh keliru untuk memutar nomor urut yang sesuai urutannya.

Pernah terjadi, mungkin karena kurang konsentrasi, petugas proyektor keliru memutar 2 rool film dengan nomor urut yang meloncat sebanyak 2 seri pula. Dan ketika 2 rool film dengan nomor urut yang seharusnya datang, langsung disambung dengan rool film yang keliru tadi. Alhasil penonton dibuat bingung, karena alur ceritanya jadi aneh bin membingungkan, kebanyakan saling bertanya seperti ini;

“..lha orang ini khan sudah mati tadi, kok sekarang hidup lagi ?...” atau
“…lho orang ini tadi khan sudah tua, kok sekarang balik kecil lagi ?...” atau
“..tadi beli karcis mau-nya nonton film silat, kok sekarang jadi nonton film lucu…”

dan lain-lain topik bahasan jalan cerita yang menjadi aneh akibat kesalahan prosedur tersebut di atas. Istilahnya suasana menjadi ajang diskusi sesama penonton, mirip suasana seminar tanpa moderator.

Untuk masalah sound system, bioskop Kelud jauh lebih baik kualitasnya dibandingkan bioskop Tenun. Jaman itu belum dikenal THX namun istilah Dolby Stereo sorround sudah direkayasa untuk memenuhi kebutuhan sound system yang prima di bioskop Kelud, dengan mempertimbangkan tata ruang dan volume penontonnya dalam skala optimal. Seingat saya, renovasi bangunan dan layar di bioskop Kelud dilakukan pada tahun 1982-an, termasuk pembaharuan kualitas sound system yang memenuhi kualitas Dolby Stereo.

Orang yang paling berjasa untuk mengembangkan teknologi Sound System di bioskop Kelud bernama Oom Robby. Orangnya berperawakan tinggi besar cenderung gemuk, sedikit nyentrik dengan rambut pirang ikalnya yang dibiarkan terurai panjang. Kesukaannya mengenakan kaos oblong, celana jins yang radha-radha mlorot dan bertopi. Konon Oom Robby ini memang keturunan orang Belanda yang kakek/nenek-nya sudah kadung cinta untuk tinggal di Indonesia dan tidak mau balik ke Belanda. Bahasa Jawa-nya lancar, bahkan hingga ke tingkatan kromo inggil. Juga dia senang kalo ada anak-anak asrama yang suka hobby otak-atik elektronik, khususnya audio.

Dia tidak segan-segan membantu memberikan advice merancang papan sirkuit untuk memasang beberapa bahan elektronik di atasnya… istilahnya urusan solder menyolder menjadi keahliannya untuk menjadikan suatu instrument buatan sendiri dengan produk suara audio yang prima. Saking poluler-nya, seringkali teman-teman seasrama saya dengan bangga-nya memamerkan kualitas suara audio buatannya sendiri dengan menyebutnya merk Dolby, singkatan dari; Di-odol-odol Robby.

Tidak berlebihan bila bioskop Kelud saya nilai memanjakan telinga penontonnya. Bahkan untuk ukuran gedung bioskop di kota Malang yang berkelas-kelas di atas bioskop Kelud-pun, menurut saya kualitas suaranya cempreng, enteng, pekak tidak sourround dan tidak mantap dan se-ngebass Dolby-nya Kelud. Takaran bass dan treble Dolby di bioskop Kelud dalam takaran yang imbang di telinga dan sangat cocok untuk jenis film-film laga atau Sci-FI.

Bahkan, dalam malam-malam tertentu, biasanya pas malam minggu, musik penunggu masa putar film-pun dipilih berupa jenis musik yang diminati kebanyakan penonton di bioskop Kelud. Pernah diputar lagu-nya Genesis berjudul Mama dan Home by The Sea, Another brick in the wall-nya Pink Floyd, juga Tom Sawyer-nya Rush dan beberapa lagu dari God Bless. Alhasil, banyak penonton yang kegirangan dan terlihat sangat bersyukur, karena hanya mengeluarkan uang tidak lebih dari 300 rupiah, sudah disuguhi lagu-lagu kesukaannya dan sebentar lagi bisa nonton film yang bagus.

Terdapat pula “lagu dan koor kebangsaan”, sesaat sebelum pertunjukan dimulai, berupa instrument ringan berbasis melodi yang judulnya saya tidak mengetahuinya, tapi dimulai dengan bunyi suara gong sebanyak tiga kali.

Setelah lagu itu usai, sebagai pengiring slide-slide iklan, langsung disambung dengan “koor kebangsaan”. Koor ini sebenarnya mengikuti suara bintang iklan yaitu; Ateng ketika akan memanggil Timbul dalam adegan sebuah produk param kocok. Begitu bibir Ateng muncul di layar, dan ada tarikan suara akan memanggil Timbul, kontan seluruh penonton se-bioskop ikutan berteriak serempak; “..mmMMBBuuUUUUOOOOLLLLL…!!! “ ….

Begitu kompak dan begitu lega rasanya setelah berteriak bareng seperti itu. Biasanya setelah seminggu-an stress dengan rutinitas yang dihadapi setiap penonton, kontan terasa enteng setelah melantunkan koor kebangsaan itu, siap untuk menghadapi tantangan seminggu kedepannya.

Seiring dengan perjalanan waktu, pada awal tahun 90-an mulai terdapat alternatif lain untuk menikmati hiburan melalui siaran televisi swasta di rumah, maka kharisma bioskop Kelud dan Tenun pun perlahan meredup.

Banyak orang memilih untuk menikmati aneka hiburan dan film-film yang disiarkan oleh beberapa televisi swasta. Suasananya lebih hangat, tidak perlu berdesakan antri di loket karcis, tidak perlu mengeluarkan biaya dan yang lebih penting lagi, tidak perlu repot sedia shampoo saset buat persediaan keramas kalo pas nonton sambil kehujanan di bioskop Kelud ataupun Tenun.

Seingat saya, bioskop Kelud sudah tidak memutar film lagi secara rutin sejak pertengahan tahun 1995. Adapun bioskop Tenun, seingat saya sudah berpindah lokasi ke daerah ngGadang sejak 1989 dan terus mengalami penurunan minat penonton, karena berpindah lokasi sekitar 5 kilometer-an dari lokasi semula dan penyebab utama seperti tersebut di atas. Praktis memasuki tahun 1996, kedua bioskop itu tidak beroperasi lagi, dengan menyisakan banyak kenangan dari penonton setianya dan sempat menjadi salah satu ikon ‘wajib kunjung-wisata’ di kota Malang.

Saya-pun demikian, sampai sekarang masih mengingat banyak hal di kedua bioskop ini. Mulai dari;

- Bapak (Mbah Kakung) saya memboceng saya menggunakan sepeda kumbang di tahun 1973-an untuk membawa saya dari jalan Pahlawan Trip ke bioskop Tenun. Waktu itu saya diduduk-kan dikursi kayu yang diikat pada besi yang terbentang antara stang kemudi dengan tempat duduk pengemudi. Aman dan nyaman bagi saya sudah pasti menjadi jaminan Mbah Kakung saya.

- Saya dan Mbah Putri saya, naik becak untuk mengantar wedang kopi susu kepada Mbah Kakung saya pas malam liburan, sekalian nonton film. Biasanya Mbah Putri saya suka film Indonesia, idolanya Widyawati dan Leny Marlina.


- Waktu saya SMP, sempat mendapatkan julukan boss-nya Dulek, karena kalo nonton nggak pernah mbayar. Beberapa teman pun pernah saya traktir, bisa sekaligus 2-3 orang tanpa ada komplain dari yang menjaga pintu masuk, karena beliau-beliaunya adalah juga tetangga-tetangga saya.

- Jalan bareng teman-teman seasrama kalo mau nonton di bioskop Kelud, melewati stadion Gajayana dan jalan pintas diperkampungan mBareng Kartini. Pulang-nya juga jalan bareng sambil sesekali melakukan kajian tentang alur cerita film yang baru saja ditonton dan dikait-kaitkan dengan situasi Poleksosbudhankamnas terkini, waktu itu.

- Naik sepeda onthel merk Phoenix (asli) warna merah yang dibelikan Mbah Kakung saya sebagai hadiah naik kelas 5 SD. Sepeda ini bertahan hingga saya kelas 3 SMA, sebelum dihibahkan kepada tukang yang merenovasi rumah Mbah Kakung saya.

- Dengan tekun memerhatikan poster gambar bioskop Kelud, ketika saya sedang naik mobil angkot ketika berangkat ke sekolah semasa SMA. Film-nya judul-nya apa, bintang-nya siapa, untuk kemudian saya tawarkan kepada salah satu teman SMA saya yang juga menjadi fans bioskop Kelud.

- Berboncengan bareng dengan teman sekolah SMA saya, setelah siang-nya janjian nonton film di bioskop Kelud. Biasanya naik sepeda Yamaha hitam V-80. Teman SMA saya ini sekarang sudah menjadi perwira di TNI-AD. Saya tidak menyebutkan namanya, tapi kalo baca tulisan ini, saya jamin dia (dan juga teman-teman saya lainnya), InsyaAllah senyam-senyum, mesam-mesem.

Bahkan, banyak teman-teman saya yang sekarang sukses menjadi pengusaha, pengajar, dokter, ahli komputer, petani dan lain-lain, dulu tongkrongannya di kedua bioskop ini, terutama Kelud.

- Suasana hari Senin pagi di sekolah, ketika saya dan teman-teman sekolah saya saling menceritakan alur cerita yang ditonton di bioskop Kelud atau Tenun. Ceritanya malah lebih seru dengan dibumbui segala analisa pribadi dan versi yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan berpikir masing-masing. Padahal film yang ditonton judul dan bintangnya sama persis.

- Kalo pas langit cerah dan bulan sedang purnama, maka suasana lebih syahdu lagi, karena jika adegannya pas menyentuh hati penonton, bisa jadi yang bersangkutan sekalian membayangkan adegan dalam film itu akan terjadi pada dirinya sambil menatap bulan purnama tepat di atasnya, sebagai wujud melimpahkan harapan supaya adegan yang ditontonnya itu benar-benar terjadi pada dirinya kelak kemudian hari.

- Juga saya masih ingat betul bau-bau yang semerbak terkena angin malam yang sempat hinggap di hidung penonton di bioskop Tenun, yaitu campuran bau tembakau dan bau kulit yang dijemur disiang hari-nya. Sehabis hujan, bau-nya lebih semerbak lagi.

- Bahkan saking seringnya masa kecil saya melewati jalan Tanimbar untuk menuju bioskop Tenun, akhirnya takdir membawa saya untuk bersekolah di SMA yang terletak di jalan itu, yaitu SMA Negeri 5 Malang.

Demikianlah kisah bioskop Kelud dan Tenun dengan segala memori cerita yang ada di dalamnya. Menurut saya, keunikan dan sensasi untuk menikmati beragam jenis dan cerita film di kedua bioskop ini belum ada yang menandingi, baik dalam skala nasional bahkan dalam tingkatan yang mendunia/global.

Jika waktu bisa berulang, maka tidak menutup kemungkinan bisa dibuat miniatur kedua bioskop ini dengan sensasi ampera yang ditawarkan. Kiranya tidak berlebihan, karena bisa jadi penikmat bioskop saat ini sudah jenuh dengan segala bentuk individualisme dan hedonisme yang ditawarkan dalam bioskop yang berkelas tinggi.

Bisa jadi, banyak yang berkeinginan menonton bioskop sambil duduk metingkrang dan menyantap nasi goreng.

Atau berharap kejadian dalam adegan yang dinikmatinya akan terjadi dalam dirinya sambil memohon kepada sang bintang dan bulan purnama yang berpendar di malam hari.

Salam,
Anton Joedijanto.
Jakarta- 22 Pebruari 2010.